Friday, September 17, 2010

Perjalanan Ke Dua Tanah Suci (1)

Aku yakin pada untaian mimpi yang terwujud menjadi sepenggal episode kehidupan yang manis, bila dirajut dengan usaha dan doa. Selebihnya, biarlah skenario-Nya yang membuat semuanya menjadi lebih indah dan bermakna. . .

Berawal dari 4 tahun lalu, saat menyaksikan teman sekelasku di SMA yang menjemput cita dan cinta di tanah suci-Nya, menunaikan rukun kelima dalam Islam. Waktu itu, terbetik dalam hati ini keinginan untuk melakukan hal yang sama. Kerinduan menginjakkan kaki di sana menyergap begitu saja dan menggetarkan ruang hatiku. Sepulang sekolah, aku menceritakan pada kedua orang tuaku yang telah berhaji mengenai keinginanku itu. Mereka mengaminkan seraya berucap, “Kalau Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil”.

Dan dimulailah pada malam-malam berikutnya, untaian doa mulai kurajut dengan kesungguhan agar Allah berkenan membawaku menyusuri jejak Rasul-Rasul terdahulu dan para sahabatnya dalam memperjuangkan Islam, untuk menyungkur di depan Ka’bah-Nya, bergabung dalam pusaran manusia mengelilingi orbit-Nya, yang tiada berhenti hingga Kiamat tiba.


Tak lama kemudian, setelah masa kelulusan lewat, lingkungan akademisku berganti. Universitas Syiah Kuala. Tempat selanjutnya yang kutuju untuk membongkar gudang ilmu yang telah dipilihkan Allah buatku. Ilmu Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Walaupun sebagian orang mengatakan aku bisa lulus di kedokteran, tapi aku tetap kukuh untuk belajar ilmu tersebut. Karena aku yakin, pilihan Allah tidak pernah salah. Saat itu, impianku untuk berhaji terus mengusikku. Tentu saja, selain berdoa, aku juga mulai berpikir bagaimana cara agar hal itu terwujud. Aku berpikir untuk mulai menabung. Tidak peduli kapan terkumpul uang dalam jumlah yang dibutuhkan, aku harus berusaha. Dan pada saat itulah, Allah menunjukkan kekuasaanNya.

Aku tidak akan lupa. Malam itu, pada semester awal aku mengikuti perkuliahan, Mama menelpon untuk bertanya kabar, mengingatkanku untuk tidak lupa makan, dan beribadah. Sampai pada pertanyaan, “Adek, Mama sama Ayah ada uang lebih di tabungan, rencananya kami mau transfer ke tabungan Adek untuk biaya pendaftaran haji. Adek mau nggak?” tanya Mama. Hah?! Aku terkejut mendengarnya.

“Nggak salah nih?” tanyaku dalam hati. Aku merasa sedang bermimpi.

“Kalau Adek mau, biar Mama transfer dan bisa daftar terus. Kan waiting list-nya panjang tuh. Biar Adek sekalian pergi sama Bunda sekeluarga.” lanjut Mama. Bunda adalah panggilan untuk kakak Mama yang tertua. Selama 2 tahun menjalani perkuliahan, aku tinggal di rumah Bunda.

Aku tetap hening. Otak tak bisa mencerna. Bengong. Masih belum percaya. “Coba Adek pikirkan dulu. Nanti kalau udah ada keputusan, kabarin Mama ya..” tambah Mama saat tidak ada jawaban yang terdengar.


“Iya Ma..” jawabku. Masih dalam keadaan setengah sadar, kujawab salam Mama. Tik...tok...tik...tok... hanya terdengar gerakan jarum jam di dinding kamarku. Aku mencubit tanganku. “Adduhhh...!” keluhku sambil mengusap-usap tangan. Memang bukan mimpi. Seketika kesadaranku pulih. Aku langsung bersujud syukur.

“Alhamdulillah.... Allahu Akbar..!!” ucapku agak keras ditemani air mata yang mulai meliuk turun. Bahagia tak terkira. Baru saja aku berencana menabung, namun Allah memudahkan jalanku lewat rezeki yang diberikan-Nya kepada kedua orang tuaku.

Dari pembicaraanku dengan Mama di telepon, satu hal yang kusadari. Mama sepertinya sudah lupa tentang keinginanku untuk berhaji yang pernah aku utarakan waktu SMA dulu. Makanya Mama menyuruhku untuk berpikir ulang tentang keputusan untuk ikut atau tidak.

Dan Allah mulai mengujiku. Setan menghembuskan bisikan agar aku membatalkan niatku untuk pergi. “Nanti gimana dengan kuliahmu? Kamu pasti ketinggalan dari teman-temanmu.Coba ingat-ingat, tuh si A yang berangkat haji semasa perkuliahan, nilainya turun drastis. IP-nya hancur. Kamu mau merasakan hal yang sama?? Aahh...udaaahh..gak usah pergiii...!”. Keraguan menyusup halus. Aku beristighfar sembari meyakinkan diri. “Skenario-Nya tidak pernah salah. Allah telah menjawab doaku. Di luar sana, begitu banyak orang yang ingin berhaji tapi terkendala dengan finansial. Tetapi aku yang belum punya penghasilan, Allah mudahkan lewat kedua orang tuaku. Apakah aku harus ragu dengan keputusan-Nya? Bukankah Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya?”

Bismillah, aku memantapkan diri. Tidak ada lagi keraguan itu. Besoknya aku langsung menelpon Mama untuk memberi tahu keputusanku. Ucapan hamdalah keluar dari mulut wanita yang sangat aku cintai itu. “Alhamdulillah... senang Mama dengarnya. Tidak semua orang dapat kesempatan seperti Adek. Apalagi di usia muda seperti sekarang. Nanti kalau uangnya udah ditransfer, Mama kabari ya..” jawab Mama. “Oh ya.. jangan lupa terus berdoa agar dimudahkan semuanya. Juga Adek udah bisa mulai baca buku tentang manasik haji. Ibadahnya juga terus diperbaiki dan ditingkatkan. Persiapkan diri lebih awal kan nggak ada ruginya.” tambah Mama.

“Iya Ma. Insya Allah.” jawabku. Kuakhiri pembicaraan dengan mengucap salam.

****************************************************************************************

2 tahun kemudian....
(Mei 2008)

“Ela, Bunda mau daftar manasik haji di Yayasan Al-Mabrur. Ela ikut kan? Katanya bagus disana. Mama juga kenal pendirinya tuh. Dia dulu murid Mama waktu ngajar di SPMA.” tanya Bunda.

“Oh.. kapan mulainya, Bunda? Ela ikut lah..” jawabku.

“Minggu kedua bulan ini. Acaranya di mesjid Lampineung itu. Nanti ada kabar selanjutnya dari Yayasan. Kita tunggu aja.” jelas Bunda.

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Oh ya, Bunda udah tau belum kapan kita berangkat? Tahun ini ya? Kayaknya Bunda udah tau ni. Udah daftar manasik gitu.” tanyaku lagi.

“Belum ada pengumuman dari Depag. Nanti kalau nama kita ada, pasti dihubungi. Pak Cik juga lagi nyari info tentang ini. Kan Pak Cik banyak kenalan di sana.” jawab Bunda. Pak Cik itu panggilan untuk adik laki-laki Bunda yang paling muda. Berarti adik Mamaku juga. Tapi kami keponakannya sering memanggil dengan sebutan “Acik”. Lebih enak didengar.

“Cepat juga ya Bunda kalau tahun ini kita berangkat. Berarti waiting list-nya dua tahun.” tambahku.

“Iya, Alhamdulillah kan.. . Kalaupun nggak jadi tahun ini kita berangkat, minimal kita udah punya bekal ilmu manasik untuk berangkat kesana. Nggak jadi tahun ini, Insya Allah tahun depan.” kata Bunda lagi.

Tibalah waktunya manasik dimulai. Dari Bunda sekeluarga, yang mendaftar untuk berangkat haji adalah Bang Habibi, Dek Ami, Bunda. Dari Acik sekeluarga adalah Acik dan istrinya, Ammah Sarah. Jadi kami semua berjumlah 6 orang. Namun tiba-tiba.....

Bersambung....

No comments:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Sepenggal Episode Kehidupan. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator