Sunday, September 19, 2010

Entahlah, jangan tanya padaku

Sekelebatan pemandangan. Darah. Wajah-wajah kesakitan. Potongan kayu. Sobekan baju. Urat leher yang menonjol. Orang-orang berlarian. Aku ikut berlari di sela-sela bau keringat dan rintihan sakit.



“Toloong.. tolooong..”



Di antara teriakan dan desingan peluru karet. Lari dan lari. Sambil melihat ke belakang, barisan almamater masih berusaha menembus blokade polisi. Asap memenuhi udara, memaksa kelenjar air mataku bekerja.



“Cepaaat....! Lari-lariiii!...Awaaasss...!”. Jatuh terjerembab. Berusaha bangkit. Lalu lari, lari, lari,....





.....

Seorang ibu berwajah lelah dan bayi dalam gendongannya, pulas. Di sampingnya wanita ber-make up tebal sibuk mengipasi diri dengan kipas kain norak. Seorang kakek memakai topi merah lusuh, baju oblong putih kusam, celana kain hitam, dan rokok terselip di bibirnya yang gelap berkeriput.



Tiba-tiba..., ”Tujuh lima, tujuh lima. Heh bu, geser sana biar muat penumpang lain! Biasa disitu muat lima orang! Itu baru empat!”. Seorang ibu berpakaian nggak-nyadar-umur, ketat membentuk tubuhnya yang gempal menggeser duduknya sambil memaki-maki sopir.



“Ciiiiiiiit....! Tiiin...tiiiiiiiiiin...!. Sopir mengerem sambil ngomel. Kepalaku terantuk dinding mobil yang karatan disana-sini.



Seorang bapak berperut khas paruh baya, wajahnya bergelambir penuh keringat, menyumpah-nyumpah sopir yang menyetir asal, ”Punya banyak nyawa kau, hah?! Kalau mau mati, mati saja! Gak usah bawa-bawa kami! Sopir goblok!” .



Sopir naik pitam. “Turun kau sekarang! Banyak mulut! Cepat turun!!”. Sambungnya, “Aku capek cari duit! Sumpek! Panas! Coba kau jadi sopir angkot! Barulah kau tau penderitaanku! Kau lihatlah keadaanku! Ini semua gara-gara para maling uang rakyat itu! Mereka sibuk membesarkan perut! Menghisap darah orang-orang nggak berdaya macam aku! Semua jadi hancur berantakan!”.

.....





Terdengar tangisan bayi. Keras. Memedihkan hati. Tangisan sedih, tapi tak tau berkata. Tangisan kecewa, kecewa yang tak tersampaikan.



Salah siapa?





.....





Menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, berharap sesak dalam dada sedikit berkurang. Melintas sketsa baru. Aku tak sanggup menggeser tumit sepatuku untuk melangkah lebih jauh, melihat lebih dekat. Tidak, aku tak tahan melihatnya. Tidak, tidak, tidaak...!



Air mata mengalir di pipi keriputnya. Tangannya yang gemetaran sesekali mengusap kedua wajahnya. Tangan yang lain memegang erat bingkai foto berwarna kuning keemasan dengan sedikit ukiran di sudutnya. Bibirnya bergetar menahan isak. Hatiku hancur berkeping-keping, terbang bersama ingatanku akan sesosok wanita yang bersedia mengorbankan hidupnya untukku, yang wajahnya setia menemaniku saat aku merengek minta disusui.



“Saya hanya pengen rumah itu, yang jadi hak almarhum suami saya. Dia udah korbankan jiwanya untuk negara ini. Apa salah kalau saya menuntut penghargaan sedikit dari pengorbanannya itu? Waktu saya nggak lama lagi. Hidup yang tenang di rumah yang banyak kenangan dengan suami saya, apa tidak boleh? Sudah tua renta begini, apa harus menghabiskan masa tua saya di panti jompo?”.



!



!!!!



!!!!!!





Aku berlari sekencang-kencangnya. “Ya Allaaaaahhhhhhhh.....!!”





.....







Seorang laki-laki yang sedang asyik di depan layar komputernya. Mengambil sebuah modem merek A lalu menyambungkannya ke komputer. Setelah melakukan koneksi jaringan, dia mengklik ikon web browser lalu mengetik sebuah alamat website. Dia dipandu bisikan dari makhlukyangdilaknatTuhansampaiharikiamat, lalu tanpa ragu menekan tombol enter.



Gambar-gambar maksiat bermunculan dan dia semakin bersemangat surfing di dalamnya. Tak lama kemudian, maksiat yang lain terjadi dan makhlukyangdilaknatTuhansampaiharikiamat pun menandak-nandak di atas kepala laki-laki itu. Terus dan terus berasyik-masyuk, hingga Shubuh pun terlewatkan.



.....



Aku merasa jijik dan muntah.





.....





“Dana APBN yang tersedia sampai hari ini mencapai......”, bla bla bla. Terdengar penjelasan dari arah depan. Mikropon dihidupkan. “Interupsi...!”, bla bla bla. Mikropon dimatikan sambil mencibir. Udara dingin dari AC bertiup lembut, naik memenuhi ruangan yang sangat luas itu, didominasi warna coklat tua.



Sebuah nada dering hape terdengar pelan di sebelahku. “Sudah bisa? Baguslah. Hari ini saya mau pesan tiket ke Singapura. Besok jam 8. Saya mau beli tas tangan terbaru di sana. Apa? Merk? Louis Vutton dong. Channel? Ah, udah dari dulu. Terus kamu....,” bla..bla..bla..



Arah jam 9. Terkantuk-kantuk dengan punggung menyandar malas di kursi empuk. Bentuk perutnya yang buncit tersembunyi di bawah kemeja putih yang dikenakannya. Ujung dasi merah bergaris hitam menyentuh gundukan perutnya yang teratur naik turun. Orang itu sesekali melihat jam tangan dan merutuk, “Lama banget, kapan sih makan siang?.” Dengkuran halus.



Lembaran kertas berserakan di atas meja. Pulpen mulai mendingin, sendiri tanpa ditemani kehangatan jari.





.....





Matahari mulai angkuh. Menerbitkan panas yang luar biasa. Menusuk hingga ke dalam otot tubuh. Hembusan angin pun tak terasa. Di atas sana, langit terlihat keruh dan bertanya, “Di mana warna biruku?”

Bukan, bukan matahari yang angkuh. Tapi manusia yang angkuhnya mencapai titik akut sehingga alam pun tidak bersahabat lagi, nggak sudi, muak!



“Jreeeng..jreeng! Selamat siang Bapak, Ibu, Mbak-mbak, Mas... saya akan menyanyikan lagu dari Iwan Fals yang berjudul Surat Buat Wakil Rakyat.



Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana di gedung DPR



Wakil rakyat kumpulan orang hebat

Bukan kumpulan teman teman dekat

apalagi sanak famili



Dihati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

Bicara yang lantang jangan hanya diam



Di kantong safarimu kami titipkan

Masa depan kami dan negeri ini

Dari Sabang sampai Merauke



Saudara dipilih bukan dilotere

Meski kami tak kenal siapa saudara

Kami tak sudi memilih para juara

Juara diam juara he eh juara hahaha



Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana di gedung DPR



Dihati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

Bicara yang lantang jangan hanya diam



Wakil rakyat seharusnya merakyat

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

Wakil rakyat bukan paduan suara

Hanya tahu nyanyian lagu “setuju”



Aku hanyut bersama dawai petikan gitar yang bergelombang memenuhi atmosfer tepi jalan yang aku tapaki. Sekumpulan anak remaja duduk di sana, bercanda ria sambil latihan bernyanyi lagu yang kudengar tadi. Aku menghampiri mereka.



“Assalamu’alaikum...”, sapaku sambil tersenyum. Mereka terdiam, lalu beberapa tergagap menjawab salamku.



“Wa..wa..waalaikumsalam..”, yang lain nyengir.



“Kenalin dek, nama Mbak, Salsabila. Mbak boleh minta dinyanyiin satu lagu nggak ?”, tanyaku kepada seorang remaja berambut merah yang memegang gitar.



Bengong. Heran. Lalu, “Hah? eh..eh..boleh Mbak. Lagu apa, Mbak? Siapa tau saya bisa. Hehe...”, jawabnya sambil nyengir memamerkan barisan giginya yang kuning.



“Tadi kan Mbak denger kamu nyanyiin lagu Om Iwan Fals. Perasaan Mbak jadi campur aduk habis denger lagu itu.” Aku terdiam sebentar sambil berusaha meredam perasaanku yang nano-nano. Aku berusaha tersenyum. “Nah, sekarang coba deh kamu nyanyiin satu lagu yang bisa bikin suasana hati Mbak jadi enakan lagi”, pintaku pada anak itu.



“Kenapa jadi kayak permen nano-nano gitu Mbak? Hehe..” Dia berpikir sebentar. Tak lama kemudian tersenyum simpul. “Oh, saya tau kenapa Mbak bilang gitu...”, dia manggut-manggut sok tau.



“Kenapa coba?”, tanyaku.



“Ah, pokoke aku tau. Udah sering aku liat di tivi. Aku sendiri udah ngerasain, lha, aku ini buktinya tho Mbak. Tanah air kita ini....”. Dia berhenti sambil menatapku nanar.



“Nggak usah aku bilang lah Mbak. Kita semua dah tau, ya kan? Ntar perasaan Mbak makin kacau, ya tho? Hehe...”, sambungnya menetralkan suasana. Teman-temannya yang lain tertawa kecil. Ada yang melemparkan senyumnya ke arahku, senyum maklum sekaligus menghibur. Seharusnya aku yang menghibur mereka, malah aku yang dihibur, batinku.



“Iya deh, pinter”, jawabku sambil mengacungkan jempol. “Eh, jadi nggak nyanyi untuk Mbak?”, sambungku lagi.



“Oh, iya iya. Lupa aku. Lagu Utha Likumahua aja ya, Mbak. Judulnya Esok Kan Masih Ada”, imbuhnya. Aku mengangguk setuju.





“Jreeng..jreng jreng jreeng.....”



Wajahmu kupandang dengan gemas


Mengapa air mata slalu ada di pipiku


Hai nona manis biarkanlah bumi berputar



Menurut kehendak yang kuasa



Apalah artinya sebuah derita


Bila kau yakin itu pasti akan berlalu


Hai nona manis biarkanlah bumi berputar


Menurut kehendak yang kuasa



Reff#



Tuhan pun tau hidup ini sangat berat


Tapi takdir pun tak mungkin slalu sama


Coba-coba lah tinggalkan sejenak anganmu


Esok kan masih ada .. esok kan masih ada




Sambil tersenyum, dia mengakhiri nyanyian itu dengan manis. Aku balas tersenyum. Aku harus pergi, kalau tidak bisa terlambat, batinku. Aku sodorkan selembar 100 ribuan. Matanya membesar.



“Makasih ya dek, Mbak jadi terhibur. Mbak pergi dulu, nih, ada sedikit hadiah dari Mbak untuk nyanyianmu itu. Bagi-bagi sama teman-temanmu. Tapi janji sama Mbak, hari ini kalian nggak usah ngamen ya”, jelasku sambil menyapu pandangan semua wajah yang ada di situ.



“Horee... horee.. asiiikk!”, sorak mereka. “Makasih ya Mbak, makasih ya..”, celetuk salah seorang mereka.



“Makasih, Mbak.”, terdengar lagi. Mereka terus mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum mengiyakan.



“Oh ya, nama kamu sapa?”, tanyaku kepada anak yang berambut merah tadi.



“Namaku Faiz, Mbak. Makasih ya Mbak untuk hadiahnya. Semoga Allah memberi Mbak rezeki yang melimpah dan hidup yang bahagia.”, jawabnya bijak. “Nggak hanya bahagia di dunia tapi juga di akhirat”, imbuhnya tulus.



Aku terharu seraya mengaminkan sepenuh hati. “Makasih atas doanya dek, semoga hal yang sama untuk kalian. Amiin...”, mereka mengaminkan. “Mbak pamit ya, Assalamu’alaikum..”, aku beranjak sambil tersenyum.



“Waalaikumsalam...”, mereka menjawab salamku kompak. Tak tergagap, tak ada cengiran. Yang ada hanya lengkungan indah di sudut kiri dan kanan bibir.



Butiran bening itu akhirnya jatuh bersama semilir angin yang bertiup pelan. Lalu naik, naik semakin tinggi dan menyatu dengan molekul air lainnya di lapisan stratosfer. Butiran dari sudut mataku, dari mata anak berambut merah itu, dan dari mata yang setiap harinya menengadah ke langit seraya berucap, “Terimakasih Tuhan..”. Berusaha bersyukur walau hidup kian terasa sulit.





.....





Aku masih terbang. Tak lama, aku mendarat di sisi tempat tidurku. Lelah. Terasa ada yang sakit. Aku cari di sekujur tubuh, di sayapku, tapi tak ada luka. Sakit..



Sakit dimana?



Luka. Mana yang luka?



Tak ada. Tapi terasa.



Ah, pastilah tak terlihat. Ya, jiwaku yang terluka.



Mengapa? Entahlah. Aku pun tidak tau.



Lelah. Lelah...



.....





Semua ini salah siapa?



Mahasiswa teriak-teriak. “Pemerintah! Pemerintah!”



Sopir menyumpah-nyumpah. “Penghisap darah rakyat itu!”



Para wakil tertawa licik dan berkata,” ..sok suci semua! Hidup butuh duit!”



Seorang laki-laki mendesah nikmat lalu berkata, “Apaan sih sibuk UU Pornografi, munafik lo!”



Orang tua menyalahkan anak. Anak menyalahkan orang tua.



Orang tua menyalahkan Ulama, Ulama ngomong berbusa-busa di kultum, gak sempat masuk telinga jamaah, udah terpental duluan saking bebal.



Orang awam ngekor aja yang penting hidup makmur.



....





Saling menyalahkan, terus berputar di lingkaran setan. Gak mau keluar. Yang nulis ini juga sama. Karena baru bisa sampai tahap menyampaikan, thok!







Aku...





Rindu menempati negeri penuh lengkung indah dimana tiada aroma pekat kesedihan dan luka.





Pernahkah engkau lihat awan yang berarak di hamparan langit biru umpama arakan kuda putih yang berjalan membawa sekedup cahaya?



Aku ingin masuk ke dalamnya.



Mungkin itulah jalan yang dapat membawa aku ke negeri itu.

No comments:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Sepenggal Episode Kehidupan. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator