Saturday, February 26, 2011

M.E.N.U.N.G.G.U.

Dua tahun yang lalu puisi ini tercipta. Seperti biasa, inspirasi datang begitu saja.

Semua titik terlihat tak bermakna

Yang mendesakku kembali ke sana

Awal yang menjadi luruhan daun kering

Akhir yang menyejukkan umpama salju,

yang bergelantungan di pucuk cemara

tak mengapa bila terkena surya

abadi, tidak mati


Onak duri yang terhampar di tanah bernama hidup

Tajam kerikil menggores tiap pejuang : aku dan kamu

Ingin kembali dan tak undur

Karna negeri bahagia tlah menanti

Dia juga, yang sangat merindu


Lengkungan indah pada sisi pelangi

Alunan musik sederhana dari bibir-bibir polos

Wajah-wajah malaikat yang merana bahagia

Atmosfir penyaman melingkupi keseluruhan tanahku

Apalagi yang kubutuh?

Bila pun sabit tak bisa menjadi purnama

Di penjara berbungkus keindahan

Aku mau menunggu

Karena janji kepastian tak pernah mengecewakan

Kalaupun aku menduluimu pada gerbang depan

Langkah tak berlanjut

Menunggumu....’tuk saling mengaitkan jari,

menapak bersama ke dalam impian kita,

sebabnya bergegaslah

Aku menunggu, di sini.


13 September 2009,

[Sakit yang bercahaya]



Read More......

Thursday, February 24, 2011

Maafkan Diri, lalu...




(Ditemani dentingan manis Yiruma “Kiss The Rain”, teringat suatu hal di lampau yang belum aku selesaikan. Satu cara untuk menyelesaikan adalah dengan menuliskannya dengan caraku sendiri. Setelahnya aku bisa lega dan tidak melihat lagi ke belakang. Dan tentu saja, aku bisa memaafkannya.)

Sekitar 3 tahun yang lalu, sebuah tawaran menghampiri. Suatu organisasi kampus meminta kesediaanku untuk berkontribusi dengan jabatan penting. Awalnya berat bagiku untuk mengiyakan, karena aku kurang menyukai atmosfer yang terlebih dulu tidak menyenangkan pada pertemuan pertama antar pejabat teras. Namun, saat itu pemikiran idealisku menyuruhku untuk mencoba keluar dari “cangkangku” yang nyaman. Semata agar aku tidak menjadi pengaplikasi dari pepatah “Seperti katak dalam tempurung”. Di sana lah aku bertemu dengannya, seseorang dengan segala kenangan yang ikut bersamanya telah mengendap di alam bawah sadarku selama 3 tahun. Pertemuan yang bertahun-tahun kemudian telah memberiku banyak kedewasaan.

Dia menyukaiku. Sebenarnya aku tidak peka tentang itu. Tapi, seorang sahabat memberitahuku. Tujuannya agar aku lebih sadar dengan siapa aku akan bekerja sama. Kalau dipikir kembali, semuanya akan menjadi berbeda bila aku tidak tahu. Karena saat itu aku berubah memandangnya dalam konteks yang lain. Ah, aku tak tahu bagaimana mendekripsikannya. Sadar atau tidak, semua cerita dimulai dari saat itu. Tahun-tahun dimana aku bekerja sama dengannya membuatku lebih tahu banyak tentangnya. Kebaikannya, keberaniannya, keunikannya, kritis, dan pembawaannya yang cenderung kasar dan ketus. Tak perlu waktu lama untuk tahu, yang terakhir itu adalah topeng untuk menutupi perasaannya yang rapuh. Interaksi yang kian intens membawaku ke dalam dunia yang sudah lama tidak kusentuh: jatuh cinta. Begitulah skenario dari-Nya yang harus aku jalani. Dari sini, jalan yang aku tapaki lebih terjal. Lebih banyak yang harus dikorbankan untuk sampai ke puncak. Pada akhirnya aku kalah. Aku jatuh ke jurang yang dalam dan berduri. Ya, hal ini membuatku rapuh dan lemah. Aku jadi lebih banyak merenung. Aku tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini. Saat itu, aku memutuskan untuk mengetik sebuah surat untuk dia. Isinya bercerita mengenai aku dan dia. Sebuah kebenaran yang tidak bisa lagi aku kurung. Aku tidak sanggup menanggungnya. Dia membalasnya dengan isi surat yang jujur, rapuh, tapi ingin tegar. Dia menghormatiku dengan caranya. Dia tahu aku tidak memilih jalan yang lazim dipilih banyak orang untuk mengekpresikan rasa yang tengah melandaku. Akhirnya,
aku akan datang 5 tahun lagi dengan kepribadian yang lebih baik. Itulah janjinya. Saat itu aku menanggapi dalam hati dengan ragu. Benarkah? Apakah ini baik?

Dalam keraguan yang menyerangku dari semua sisi, aku menyendiri di malam yang sunyi. Berduaan dengan-Nya. Bercerita-layaknya curhat, menangis sesenggukan, mengais ampunan, dan memohon petunjuk dimana jalan keluar dari semua yang membingungkanku. Dan tak lama, Allah menjawabnya. Suatu hari aku disuguhi berita di situs jejaring sosial mengenai dia. Berpacaran dengan ***. Aku hanya membeku. Dan tidak menyentuh apa-apa selama sehari penuh: tidak makan, tidak minum, hanya diam di sudut kamar ditemani bening-bening yang terus mengalir. Aku membiarkan perasaan “konyol dan kawan-kawannya” itu merongrongku sampai puas. Akhirnya perasaan itu menyerah dan pergi. Aku merasa lelah dan tertidur dengan bekas bening di sudut mataku.

Perlahan, dengan luka-luka yang ditorehkan cukup dalam di dinding hatiku, aku bangkit. Menata kembali hidupku. Menambah interaksi dengan-Nya saat kesunyian malam tiba. Aku akui, tidak hanya keburukan yang datang selama aku melalui semua ini. Percaya atau tidak, hal itu membuatku menjadi lebih sering bertemu dengan-Nya. Meluahkan perasaanku, membeningkan hati untuk lebih jujur mengakui kesalahan-kesalahanku, dan mempercayai kelembutan kasih-Nya untuk menyembuhkan luka di hatiku. Setahun kemudian, aku masih dan terus belajar bagaimana menjadi ridha dan ikhlas atas apa yang telah berlaku. Aku belum cukup kuat untuk menyambung kembali silaturahmi yang terputus. Dia juga tidak pernah berucap meski satu kata mengenai hal itu. Aku tahu dalam keseharianku bertemu dengannya, dia ingin menyapaku dan mengungkapkan banyak hal. Tapi mungkin dia tidak mampu. Aku masih berusaha untuk memaafkannya. Dan hari ini aku tidak mau menunda lagi.



Aku ingin melangkah lebih jauh dan terbang lebih tinggi. Aku percaya bahwa di belahan dunia lain, setengah bagian diriku juga sedang mencariku. Aku memutuskan untuk mengunci ruang yang khusus aku sediakan untuk pasangan jiwaku. Nanti, tiba masanya, aku akan menyerahkan kuncinya-dengan dibimbing olehNya- pada orang yang tepat.

Aku tahu rezki ku tidak akan diambil oleh orang lain, karena itulah aku tenang.
Aku tahu amalku tidak akan diambil oleh orang lain, karena itulah aku sibuk beramal .
Aku tahu Allah selalu mengawasiku, karena itulah aku malu bila Dia melihatku dalam kemaksiatan.
Aku tahu kematian sudah menunggu, karena itulah aku selalu sibuk menambah bekal untuk hari pertemuanku dengan Allah.


Hari ini aku sadar, selama ini aku belum memaafkan diriku atas semua yang aku lakukan di lampau sana. Aku belum bisa menerima atas ketergesaanku dalam mengambil keputusan sehingga mengacaukan arah jalan yang tengah aku tempuh. Aku sudah menyadari, aku tidak akan pernah bisa memaafkannya sebelum aku melakukan hal itu. Dan sekarang aku sudah memaafkannya.

Aku memaafkanmu untuk semuanya. Aku harap silaturahim ini kembali terajut dengan lebih baik. Ingatkah ini di dalam suratku 2 tahun yang lalu:
“Nanti saat dimana mungkin dirimu telah menimang cucu dan di tempat lain aku juga demikian, mungkin masing-masing kita akan tersenyum mengingat kisah ini.”
Entah kapan, saat kita bertemu nanti, aku tidak mau kau mengungkitnya lagi. Karena aku sudah memaafkan semuanya. Semua yang bisa aku ingat. Dan maafkan aku untuk semua salahku. Mungkin ada kata-kataku dalam tulisan ini yang menyinggungmu, maafkan aku juga untuk itu. Semoga Allah meridhainya...


Darussalam, 25 Februari 2011
[Di tengah dentingan Yiruma yg belum berhenti]

Read More......

Thursday, February 17, 2011

Bekerja Keabadian



Saat engkau mengajarkan suatu ilmu yang ahsan (baik) kepada org lain, sesungguhnya engkau tengah "menanam satu bibit pohon" di dunia ini. Akarnya tumbuh menghujam dengan kuat ke dalam tanah demi meneguhkan berdirinya "calon pohon" ini. Batang-batangnya tumbuh membesar dan memunculkan ranting-ranting kecil yang terdapat dedaunan yang hijau lagi segar. Seiring berjalan waktu, kelopak bunga mulai bermunculan, tak lama bunga-bunga cantik tumbuh di sela kelopak dan menebarkan aroma harum yg menyenangkan hati. Orang-orang yang lewat di dekatnya, mulai tertarik dan merasa nyaman untuk duduk di bawahnya sekedar bersandar untuk melepas lelah dan bernaung dari teriknya matahari.

Tak berhenti disitu."Pohon" ini juga mulai memproduksi oksigen lebih banyak terutama di siang hari yang panas. Itulah sebabnya engkau merasa sejuk kala duduk santai di bawahnya. "Pohon" itu terus tumbuh dan tumbuh. "Oh, lihatlah! Buah-buah ranum sudah muncul. Pohon ini memang sangat bermanfaat." Begitulah kata orang-orang yang memerhatikan "sang pohon". Yang diperhatikan terus tegak berdiri dan semakin besar. Besar yang tidak menjulang. Besar yang membaikkan.

Bila seseorang memetik buahnya, "pohon" membalasnya dengan menumbuhkan buah yang lebih lezat dan lebih besar. Pun ada yang melempar batu padanya, "dia" memilih diam, padahal "dia" hidup. Tunduk penuh pada titah Tuhannya untuk tetap di tempat ia bertumbuh, meski bertahun lamanya. Tidak mengaduh secuap pun.

Ilmu ahsan yang engkau ajarkan, seperti ini. Amal keabadian. Seperti pohon indah itu, dia tumbuh dan terus tumbuh di salah satu taman syurga-Nya. Menunggu kedatanganmu untuk menyapamu. Menemanimu agar sepi tak menghinggapi. Menerangi sekelilingmu, agar hilang takutmu akan gelap yang berlipat-lipat. Tapi kau akan melihatnya nanti, di masa depan pada sebenar hidupmu. Ya, engkau benar. Itulah tempat tumbuhnya, kuburmu dan padang mahsyar kelak. Sebab itu, janganlah ragu menyebarkan ilmu apapun yang engkau tau. Aku juga tengah berusaha. Karena aku ingin bekerja untuk keabadian. Untuk masa depan pada sebenar hidupku. Insya Allah.


Mencari dan mencari
pada kumpulan lembar usang bercuil debu

di punggung semut bersisa remah-remah roti

pada lubang-lubang berliku bekas sadapan getah

di titik putih tertiupnya kepakan bulu-bulu indah

dan di pusaran biru, tempatku melepas lelah, hanya tatap saja


Mencari dan mencari

hingga penantian berbuah indah

dan menemukan muaranya

(Humaira Meirina dalam "Mencari")

Wallahu'alam.

*Darussalam, 18 Februari 2011

[Di sela-sela membuat slide presentasi, hehe..]
Read More......

Damai Bersama-Mu



/Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Menyelonjorkan kaki. Menarik nafas perlahan, menghembuskannya, lalu perlahan mataku menghangat. Aku membiarkannya/

Kemarin aku melafalkan berulang, "Aku ingin pulang, aku ingin pulang, aku ingin pulang."

Pulang. Kembali ke rumah. Tidur di pangkuan Mama. Rebah di lengan Ayah. Bercanda dengan adik laki-lakiku. Sebentar saja. Aku ingin menghirup udara rumahku. "Istana hatiku". Tempat paling nyaman bagiku untuk membagi "ujian"ku.

"Ujian" ini mengambil semuanya. Energi hidupku. Jatuh, tergores, berdarah-darah. Lalu dengan izin-Nya, aku bangkit. Dengan bekas luka-luka, aku mencoba berdiri. Tegak dan perlahan menyembuhkan diri. Sebab aku HARUS memenangkan 'perang' ini. Allah mencintai yang berjihad, inilah jihadku. Allah mencintai hal itu, maka aku BELAJAR UNTUK MENCINTAINYA.

Hidup adalah BELAJAR.
Belajar bersyukur meski tak cukup,
Belajar ikhlas meski tak rela,
Belajar taat meski berat,
Belajar memahami meski tak sehati,
Belajar bersabar meski terbebani,
Belajar setia meski tergoda, belajar dan terus belajar,
Meski keyakinan setegar karang, karena menjadi kodrat bahwa hati seperti air laut; Bergelombang, pasang surut dan sering terbawa arus.
Dan lebih dari itu,
Hidup juga adalah MENGAJAR.
Tak lelah mewarnai,
Setia menerangi,
Ada untuk menginspirasi.



Ya, dulu aku sudah "kenyang" melewati hari tanpa sentuhan cahaya-Nya. Saat aku merasa sesak dengan dosa. Bagai mendaki ke langit. Tidak ada kedamaian di detik yang lewat saat aku jauh dari Allah. Cukuplah aku yang merasakan penderitaan itu.

Saudaraku, kedamaian hanya terletak pada-Nya. Karena itu mendekatlah kepada Allah. Jangan biarkan dirimu terlepas dari-Nya walau sekejap.


Aku termenung di bawah mentari

di antara megahnya alam ini

menikmati indahnya kasih-Mu

kurasakan damainya hatiku


Sabda-Mu bagai air yang mengalir

basahi panas terik di hatiku

menerangi semua jalanku

ku rasakan tentramnya hatiku



Jangan biarkan damai ini pergi

jangan biarkan semuanya berlalu

hanya pada-Mu Tuhan

tempatku berteduh

dari semua kepalsuan dunia


Bila ku jauh dari diriMu

akan kutempuh semua perjalanan

agar selalu ada dekatMu

biar kurasakan lembutnya kasihMu


Jangan biarkan damai ini pergi

jangan biarkan semuanya berlalu

hanya pada-Mu Tuhan

tempatku berteduh

dari semua kepalsuan dunia

Read More......
 
Copyright 2009 Sepenggal Episode Kehidupan. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator