Monday, September 20, 2010

Perjalanan Ke Dua Tanah Suci (2)

Namun tiba-tiba kami mendapatkan kabar dari Acik yang membuat perasaanku campur aduk. “Kita gak jadi berangkat tahun ini. Karena kuota untuk NAD dikurangi, nomor seat kita sekeluarga tidak masuk dalam daftar keberangkatan.”, jelas Acik pada suatu kesempatan. Rasa kecewa menelusup halus ke dalam hatiku. Mengapa tidak jadi?, batinku. Aku sangat berharap bisa berangkat tahun ini. Setetes air jatuh, lalu menganak.
.......................................................................................................

Merenung. Penghujung malam. Keheningan suasana yang hanya bisa didapatkan saat sebagian manusia terlelap dalam tidurnya, menyisakan desahan nafas yang naik-turun teratur. Sangat menggoda untuk meletakkan badan di atas tempat tidur yang empuk, bukan? Namun, justru di waktu seperti ini, inspirasi sering aku dapatkan. Ide brilian, kejernihan berpikir, dan jalan keluar dari suatu masalah. Karena bisa langsung bertanya, mengadu, kepada Sang Pemilik Kebijaksanaan. Sehingga aku siap menyambut pagi dengan senyuman terindah. “Mengisi ulang energi” istilahku.

Hmmm... pasti semua ini ada hikmahnya. Namun sepertinya Dia belum berkehendak menyingkap tirai yang menutupinya. “Hikmah itu milik muslim yang hilang. Oleh karena itu, ambil/kutiplah dimanapun kamu menemukannya.” (lupa sumbernya). Apapun itu, pastilah yang terbaik untukku. “Saat Allah menunda sesuatu pemberian-Nya untukmu, anggaplah itu sebagai kesempatan untuk menyempurnakan ikhtiar dan keikhlasan. Niscaya kelapangan dan ketenangan jiwa akan engkau dapatkan.” Sebuah bisikan lembut terdengar. Oossh...! Baiklah. I got it!

“1 tahun ini harus digunakan untuk belajar lebih banyak lagi. Apapun itu, manasik kah, tulis-menulis kah, dll. Ah ya.., amanah di PEMAF juga belum selesai, manasik juga banyak bolosnya karna jadwal kuliah yang bejibun. Aha! Ini dia! Banyak urusan yang belum diselesaikan. Mungkinkah itu hikmahnya??”, tanyaku pada diri sendiri.

(Juni 2008)

Yak! Ini waktu dimana terlihat banyak asap di sekitar Unsyiah. Hah?! Ada apa?! Dimana kebakaran??? Oh..tenang...tenang.. cuma ada orang yang lagi bakar sampah kok....... Gak ding! “Asap” itu berasal dari kepala mahasiswa yang mesti bertempur menghadapi ujian semester genap. *lol* (ups, gak boleh ketawa gede-gede). Selamat berjuang teman-teman mahasiwa. SKS (Sistem Kebut Semalam) udah bisa diganti dengan SMS (Sistem Membaca Seminggu) dan gak usah bikin resep karena kita bukan mau masak (hoho.. :p). Semangaaat! p^0^q

(Akhir Juli-Agustus 2008)

Liburan semester tiba. Yihaaa! (eits, kalem..kalem..). Mau ngapain ya? Ambil semester pendek aja kali ya untuk habiskan liburan 1 bulan ini? Oya, proker (program kerja-red.) KESMA (bidang di PEMAF, aku wakilnya) bulan Agustus ini kan Tabligh Akbar untuk peringati Isra’ Mi’raj. “Mesti bikin rapat nih..”, kataku pada diri sendiri. Handphone berbunyi. “Mama” tertera pada layar hp.

“Assalamu’alaikum Ma..”, jawabku.

“Wa’alaikumsalam.. Bagus ya... udah seminggu nggak ada telpon orang tua. Udah lupa sama Mama ya?”, kata Mama.

“Hehe... maaf Ma.. udah niat mau nelpon kok. Masa’ lupa sama Mama sendiri? Nggak mungkin lah.”, jelasku. “Ayah sama Ari (adikku satu-satunya) sehat kan?”, sambungku.

“He-eh alasan. Alhamdulillah semua sehat. Kapan pulang ke Lhok? Udah libur kan? Ujian gimana?”, tanya Mama.

“Belum tau Ma. Soalnya di sini ada kegiatan PEMAF yang mau dibuat. Rencana Adek juga mau ambil SP. Kan lumayan, liburan jadi bermanfaat. Alhamdulillah ujian lancar-lancar aja. Tapi gak tau hasilnya, hehe..”, jawabku.

“Jeeehh.. masa’ liburan 1 bulan cuma untuk organisasi sama kuliah. Waktu untuk keluarga mana? Kita udah rindu kali sama dia. Gak boleh. Besok Adek pulang terus kemari. Mama gak ijin.”, jelas Mama.

Nah, mulai deh merajuknya. “Ma, Adek ‘kan punya amanah yang harus diselesaikan. Kalau Adek liburan gitu aja namanya kan gak bertanggung jawab. Lagipula Adek wakil ketua. Gimanapun Adek harus arahkan mereka supaya program tetap berjalan. Mama nggak mau kan Adek jadi orang yang gak bertanggung jawab? Ya udah, SP gak jadi ambil supaya Adek tetap bisa pulang. Gimana? Kasih ijin ya Ma..”, bujukku.

“Oh ya, Mama lupa bilang. Adek harus segera pulang. Mama mau ajak Adek ke Penang. Temenin Mama check up tulang pinggang. Ayah kan gak bisa sering cuti. Sekalian Adek check up juga. Mau berangkat haji harus cek kesehatan kan, walau gak jadi berangkat tahun ini, periksa lebih awal kan gak ada ruginya. Paspor urus terus di sana ya..” jawab Mama. Hatiku bertarung. Hah? Proker kiban? Perintah orang tua nih.. Birrul walidain, Ela..

“Ya udah.. Nanti Adek bicarakan sama pengurus yang lain. Moga mereka mau ngerti. Tapi kenapa tiba-tiba, Mamaku..?”, tanyaku lemah.

“Kapan lagi sempat kalau bukan waktu Adek liburan? Hari lain sibuk kuliah. Anak Mama tinggal 2 orang (kakakku sudah meninggal), Dek Ari masih kecil. Siapa lain yang bisa Mama minta temenin?”, jawab Mama. Ini dia, Mama mengeluarkan jurus ampuhnya. Tau aja kalau udah bilang gitu, aku tidak punya pilihan. Ya sudahlah, semoga berkah karena mematuhi ortu tercinta.
......................................................................................................................

PEMAF-MIPA singkatan dari Pemerintah Mahasiswa Fakultas MIPA, tempat dimana aku diberi amanah sekaligus pengembangan kualitas diri. Bidang yang aku urusi sebagai wakil bidang adalah KESMA (Kesejahteraan Mahasiswa). Markas PEMAF berpindah ke bagian utara kampus MIPA setelah pergantian kepengurusan dari BEM ‘07 ke PEMAF ‘08. See, namanya juga ikut diganti. Sepatutnya disyukuri, karena markas PEMAF yang kami tempati sekarang lebih luas dan nyaman, dekat dengan parkiran, dan ada jalan tikusnya (hanya pengurus yang mengerti :] ).

“Untuk proker bulan ini, gimana kesiapan dari bidang-bidang yang bersangkutan?”, tanya sekum (sekretaris umum-red.) PEMAF kepada anggota rapat. “Mulai dari bidang KESMA, bagaimana?”, sambungnya.

“Proker bulan ini dari bidang PEMAF, Tabligh Akbar dalam rangka memperingati Isra’ Mi’raj. Konsep sudah selesai. Panitia juga sudah dibentuk. Tinggal realisasinya saja.”, jelasku.

“Tolong ditulis rencana keseluruhan di papan, biar yang lain bisa tau dan bisa kritisi kalau ada kekurangan.”, sekum mengarahkan.

Aku meminta Dina, salah satu anggota KESMA menulis rencana yang sudah disusun, hasil rapat dengan kabid (ketua bidang-red.) dan anggota bidang KESMA.
“Sambil menunggu Dina menulis, ada yang ingin Ela sampaikan. Insya Allah minggu depan, Ela mau pergi ke Penang dalam rangka check up kesehatan sekalian temenin orang tua La check up juga. Jadi, mengenai proker ini, mohon kerja sama semua pihak dalam menyukseskannya selama La gak berada di Aceh. Kabid juga lagi gak ada di sini waktu acara dilaksanakan, so, anggota KESMA untuk sementara gak punya induknya, hehe... . Bimbinglah mereka dalam proses realisasi proker ini.”, jelasku panjang lebar.

“Eeh... kok tiba-tiba La?”, Gubernur PEMAF, Bang Ari, angkat bicara. “Gak bisa ditunda dulu sampai acara ini selesai?”, tambahnya.

“La minta maaf untuk hal ini. Keberangkatan gak bisa ditunda. Tiket pun udah dipesan. Lagipula ini permintaan orang tua. Bagaimana mungkin La tolak? Mohon pengertiannya”, jawabku.

“Berat juga ngasih izinnya nih. Secara (kata ini populer dipakai dalam kalimat apapun) waktu acara, kabid dan wakabid KESMA gak ada di tempat." Dia terdiam dan berpikir. Tak lama kemudian, "Ya sudah kalau begitu. Apa boleh buat. Insya Allah semua pihak siap membantu menyukseskan acara ini. Semoga perjalanan nanti lancar. Asalkan jangan lupa oleh-olehnya, hehe...”, kata Gubernur. Semua mengamini terutama di bagian penyebutan “oleh-oleh” (Dasar kalian.. fufu...)

“Amiin.. makasih untuk doa dan pengertiannya. Insya Allah oleh-olehnya dibawa pulang, tapi gak janji ya.. hehe..”, tambahku.

“Gak boleh. Pokoknya harus bawa..”, celetuk salah seorang pengurus.

“Yaya.. harus bawa pulang. Kalau gak kami gak bantu.”, sahut yang lain.

“Jeeh.. kalian ini pamrih sangat (melayu mode-on). Kalau bantunya ikhlas kan dapat pahala. Masa’ mau bantu pake embel-embel? Ckckck..”, jawabku ringan.

“Gak eee kak... canda. Tetep bantu kok, tapi kalau ada oleh-oleh lebih semangat! Hihi..”, sahut lagi yang lain. Semua tertawa.

“Ya deh... Insya Allah diusahakan. Sekali lagi terimakasih untuk pengertiannya.”, jawabku tulus.

Lalu rapat dilanjutkan hingga semua proker masing-masing bidang selesai dibahas.

(September 2008)

Masa-masa sibuk mengurus pernak-pernik semester baru perkuliahan dan penerimaan mahasiswa baru 2009.

  • Agenda tetap : Silaturahmi Mahasiswa Baru dengan Mahasiswa Lama.
  • Pelaksana : Semua HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), dan PEMAF bekerja sama.
  • Tempat : Lingkungan MIPA

Tahun ini ketua panitia dijabat oleh dosen. Bulan Ramadhan. Menarik, kan? Kegiatan diagendakan secara rapi. Rapat singkat namun padat digelar beberapa hari. Semua civitas akademika terlibat. Bagusnya, link-ku meluas dan berkesempatan untuk bekerja sama dengan orang yang usianya terpaut jauh denganku. Pak Ilham Maulana. Ketua panitia yang bijak dan baik hati. Terima kasih untuk semua nasehatnya, Pak.

Ah ya, kesan itu tercipta saat berkunjung ke rumah beliau beberapa kali. Rumah yang sederhana namun hangat. Istri yang ramah, cerdas, dan 3 orang anak yang lucu serta cerdas juga. Kebahagiaan yang sempurna.

Minusnya, ada satu hari dimana emosiku tidak bisa ditahan saat menghadapi peserta yang sungguh tidak menghargai panitia dan tidak disiplin. Marah, hal yang paling kuhindari dan kubenci. Bukan berupa teriakan atau bentakan, tidak. Aku hanya bertanya, tetapi dengan nada yang naik dua oktaf dan muka yang masam. Buruk sekali. Nafsu mengalahkan akal. Sisa hari itu kulalui tanpa semangat. Tahu kenapa? Karena merasa sangat merugi sudah melakukan hal yang kubenci di Bulan Ramadhan. Puncaknya, aku duduk di lantai ruangan yang digunakan untuk kegiatan silaturahmi tersebut. Menangis. Mau tahu kenapa? Karena selesai marah, aku pasti menangis untuk mengeluarkan emosi berlebih yang terakumulasi di otak. Awalnya hanya beberapa bulir yang jatuh, selanjutnya berubah menjadi isakan tertahan.

Azan ashar menggema. Marilah menghadap-Nya sejenak. Mencuci dosa. Rehat hati dan pikiran. Aku pergi begitu saja tanpa mengajak yang lain. Panitia yang lain merasa heran. Biasanya aku yang paling cerewet mengingatkan mereka untuk shalat. Ah, mereka tidak menyadari tangisanku. Hanya beberapa yang tahu dan memilih diam.

Kutumpahkan segala perasaanku pada-Nya. Mencari kesejukan di naungan-Nya. Pada kelembutan kasih-Nya. Seraya berharap, semoga saat aku sampai di tanah suci, sifat ini dapat kukendalikan dengan lebih baik.

Ajaib. Setelah itu aku mampu menyelesaikan pekerjaan di ruangan tadi dengan senyuman seolah tidak terjadi apa-apa. Benarlah sabda Rasulullah saw. : “Dijadikan permata hatiku ada di dalam shalat.”. (kalau salah tolong dikoreksi ya.. ^-^)



(Oktober 2008)

“Labbaikkallahumma labbaik.. Labbaikala syariikala kalabbaiik...Innal hamda..Wanni’mata lakawalmuk.. Laa syariikalak..” Lantunan talbiyah mulai terdengar di iklan-iklan TV. Siluet gambar Ka’bah, Mesjid Nabawi, Bandara Jeddah, jutaan jamaah haji yang sedang tawaf, Mina, semuanya mulai ditayangkan. Apalagi di stasiun Jazirah Arab. Masya Allah... getaran semangat dan keharuan terasa sampai ke hati ini.

“Ya Allah, Engkau belum berkehendak membawaku ke rumah-Mu tahun ini. Benarlah, manusia hanya bisa berencana. Namun pada akhirnya, hanya skenarioMu yang mutlak berjalan. Akankah umurku cukup hingga aku sampai kesana Ya Rabb? Sempatkah kaki ini menginjak tanah suciMu? Ridhakah Engkau padaku atas semua itu?”, isakku saat melihat siluet gambar-gambar itu.

Bersambung...
Read More......

Sunday, September 19, 2010

Entahlah, jangan tanya padaku

Sekelebatan pemandangan. Darah. Wajah-wajah kesakitan. Potongan kayu. Sobekan baju. Urat leher yang menonjol. Orang-orang berlarian. Aku ikut berlari di sela-sela bau keringat dan rintihan sakit.



“Toloong.. tolooong..”



Di antara teriakan dan desingan peluru karet. Lari dan lari. Sambil melihat ke belakang, barisan almamater masih berusaha menembus blokade polisi. Asap memenuhi udara, memaksa kelenjar air mataku bekerja.



“Cepaaat....! Lari-lariiii!...Awaaasss...!”. Jatuh terjerembab. Berusaha bangkit. Lalu lari, lari, lari,....





.....

Seorang ibu berwajah lelah dan bayi dalam gendongannya, pulas. Di sampingnya wanita ber-make up tebal sibuk mengipasi diri dengan kipas kain norak. Seorang kakek memakai topi merah lusuh, baju oblong putih kusam, celana kain hitam, dan rokok terselip di bibirnya yang gelap berkeriput.



Tiba-tiba..., ”Tujuh lima, tujuh lima. Heh bu, geser sana biar muat penumpang lain! Biasa disitu muat lima orang! Itu baru empat!”. Seorang ibu berpakaian nggak-nyadar-umur, ketat membentuk tubuhnya yang gempal menggeser duduknya sambil memaki-maki sopir.



“Ciiiiiiiit....! Tiiin...tiiiiiiiiiin...!. Sopir mengerem sambil ngomel. Kepalaku terantuk dinding mobil yang karatan disana-sini.



Seorang bapak berperut khas paruh baya, wajahnya bergelambir penuh keringat, menyumpah-nyumpah sopir yang menyetir asal, ”Punya banyak nyawa kau, hah?! Kalau mau mati, mati saja! Gak usah bawa-bawa kami! Sopir goblok!” .



Sopir naik pitam. “Turun kau sekarang! Banyak mulut! Cepat turun!!”. Sambungnya, “Aku capek cari duit! Sumpek! Panas! Coba kau jadi sopir angkot! Barulah kau tau penderitaanku! Kau lihatlah keadaanku! Ini semua gara-gara para maling uang rakyat itu! Mereka sibuk membesarkan perut! Menghisap darah orang-orang nggak berdaya macam aku! Semua jadi hancur berantakan!”.

.....





Terdengar tangisan bayi. Keras. Memedihkan hati. Tangisan sedih, tapi tak tau berkata. Tangisan kecewa, kecewa yang tak tersampaikan.



Salah siapa?





.....





Menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, berharap sesak dalam dada sedikit berkurang. Melintas sketsa baru. Aku tak sanggup menggeser tumit sepatuku untuk melangkah lebih jauh, melihat lebih dekat. Tidak, aku tak tahan melihatnya. Tidak, tidak, tidaak...!



Air mata mengalir di pipi keriputnya. Tangannya yang gemetaran sesekali mengusap kedua wajahnya. Tangan yang lain memegang erat bingkai foto berwarna kuning keemasan dengan sedikit ukiran di sudutnya. Bibirnya bergetar menahan isak. Hatiku hancur berkeping-keping, terbang bersama ingatanku akan sesosok wanita yang bersedia mengorbankan hidupnya untukku, yang wajahnya setia menemaniku saat aku merengek minta disusui.



“Saya hanya pengen rumah itu, yang jadi hak almarhum suami saya. Dia udah korbankan jiwanya untuk negara ini. Apa salah kalau saya menuntut penghargaan sedikit dari pengorbanannya itu? Waktu saya nggak lama lagi. Hidup yang tenang di rumah yang banyak kenangan dengan suami saya, apa tidak boleh? Sudah tua renta begini, apa harus menghabiskan masa tua saya di panti jompo?”.



!



!!!!



!!!!!!





Aku berlari sekencang-kencangnya. “Ya Allaaaaahhhhhhhh.....!!”





.....







Seorang laki-laki yang sedang asyik di depan layar komputernya. Mengambil sebuah modem merek A lalu menyambungkannya ke komputer. Setelah melakukan koneksi jaringan, dia mengklik ikon web browser lalu mengetik sebuah alamat website. Dia dipandu bisikan dari makhlukyangdilaknatTuhansampaiharikiamat, lalu tanpa ragu menekan tombol enter.



Gambar-gambar maksiat bermunculan dan dia semakin bersemangat surfing di dalamnya. Tak lama kemudian, maksiat yang lain terjadi dan makhlukyangdilaknatTuhansampaiharikiamat pun menandak-nandak di atas kepala laki-laki itu. Terus dan terus berasyik-masyuk, hingga Shubuh pun terlewatkan.



.....



Aku merasa jijik dan muntah.





.....





“Dana APBN yang tersedia sampai hari ini mencapai......”, bla bla bla. Terdengar penjelasan dari arah depan. Mikropon dihidupkan. “Interupsi...!”, bla bla bla. Mikropon dimatikan sambil mencibir. Udara dingin dari AC bertiup lembut, naik memenuhi ruangan yang sangat luas itu, didominasi warna coklat tua.



Sebuah nada dering hape terdengar pelan di sebelahku. “Sudah bisa? Baguslah. Hari ini saya mau pesan tiket ke Singapura. Besok jam 8. Saya mau beli tas tangan terbaru di sana. Apa? Merk? Louis Vutton dong. Channel? Ah, udah dari dulu. Terus kamu....,” bla..bla..bla..



Arah jam 9. Terkantuk-kantuk dengan punggung menyandar malas di kursi empuk. Bentuk perutnya yang buncit tersembunyi di bawah kemeja putih yang dikenakannya. Ujung dasi merah bergaris hitam menyentuh gundukan perutnya yang teratur naik turun. Orang itu sesekali melihat jam tangan dan merutuk, “Lama banget, kapan sih makan siang?.” Dengkuran halus.



Lembaran kertas berserakan di atas meja. Pulpen mulai mendingin, sendiri tanpa ditemani kehangatan jari.





.....





Matahari mulai angkuh. Menerbitkan panas yang luar biasa. Menusuk hingga ke dalam otot tubuh. Hembusan angin pun tak terasa. Di atas sana, langit terlihat keruh dan bertanya, “Di mana warna biruku?”

Bukan, bukan matahari yang angkuh. Tapi manusia yang angkuhnya mencapai titik akut sehingga alam pun tidak bersahabat lagi, nggak sudi, muak!



“Jreeeng..jreeng! Selamat siang Bapak, Ibu, Mbak-mbak, Mas... saya akan menyanyikan lagu dari Iwan Fals yang berjudul Surat Buat Wakil Rakyat.



Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana di gedung DPR



Wakil rakyat kumpulan orang hebat

Bukan kumpulan teman teman dekat

apalagi sanak famili



Dihati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

Bicara yang lantang jangan hanya diam



Di kantong safarimu kami titipkan

Masa depan kami dan negeri ini

Dari Sabang sampai Merauke



Saudara dipilih bukan dilotere

Meski kami tak kenal siapa saudara

Kami tak sudi memilih para juara

Juara diam juara he eh juara hahaha



Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana di gedung DPR



Dihati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

Bicara yang lantang jangan hanya diam



Wakil rakyat seharusnya merakyat

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

Wakil rakyat bukan paduan suara

Hanya tahu nyanyian lagu “setuju”



Aku hanyut bersama dawai petikan gitar yang bergelombang memenuhi atmosfer tepi jalan yang aku tapaki. Sekumpulan anak remaja duduk di sana, bercanda ria sambil latihan bernyanyi lagu yang kudengar tadi. Aku menghampiri mereka.



“Assalamu’alaikum...”, sapaku sambil tersenyum. Mereka terdiam, lalu beberapa tergagap menjawab salamku.



“Wa..wa..waalaikumsalam..”, yang lain nyengir.



“Kenalin dek, nama Mbak, Salsabila. Mbak boleh minta dinyanyiin satu lagu nggak ?”, tanyaku kepada seorang remaja berambut merah yang memegang gitar.



Bengong. Heran. Lalu, “Hah? eh..eh..boleh Mbak. Lagu apa, Mbak? Siapa tau saya bisa. Hehe...”, jawabnya sambil nyengir memamerkan barisan giginya yang kuning.



“Tadi kan Mbak denger kamu nyanyiin lagu Om Iwan Fals. Perasaan Mbak jadi campur aduk habis denger lagu itu.” Aku terdiam sebentar sambil berusaha meredam perasaanku yang nano-nano. Aku berusaha tersenyum. “Nah, sekarang coba deh kamu nyanyiin satu lagu yang bisa bikin suasana hati Mbak jadi enakan lagi”, pintaku pada anak itu.



“Kenapa jadi kayak permen nano-nano gitu Mbak? Hehe..” Dia berpikir sebentar. Tak lama kemudian tersenyum simpul. “Oh, saya tau kenapa Mbak bilang gitu...”, dia manggut-manggut sok tau.



“Kenapa coba?”, tanyaku.



“Ah, pokoke aku tau. Udah sering aku liat di tivi. Aku sendiri udah ngerasain, lha, aku ini buktinya tho Mbak. Tanah air kita ini....”. Dia berhenti sambil menatapku nanar.



“Nggak usah aku bilang lah Mbak. Kita semua dah tau, ya kan? Ntar perasaan Mbak makin kacau, ya tho? Hehe...”, sambungnya menetralkan suasana. Teman-temannya yang lain tertawa kecil. Ada yang melemparkan senyumnya ke arahku, senyum maklum sekaligus menghibur. Seharusnya aku yang menghibur mereka, malah aku yang dihibur, batinku.



“Iya deh, pinter”, jawabku sambil mengacungkan jempol. “Eh, jadi nggak nyanyi untuk Mbak?”, sambungku lagi.



“Oh, iya iya. Lupa aku. Lagu Utha Likumahua aja ya, Mbak. Judulnya Esok Kan Masih Ada”, imbuhnya. Aku mengangguk setuju.





“Jreeng..jreng jreng jreeng.....”



Wajahmu kupandang dengan gemas


Mengapa air mata slalu ada di pipiku


Hai nona manis biarkanlah bumi berputar



Menurut kehendak yang kuasa



Apalah artinya sebuah derita


Bila kau yakin itu pasti akan berlalu


Hai nona manis biarkanlah bumi berputar


Menurut kehendak yang kuasa



Reff#



Tuhan pun tau hidup ini sangat berat


Tapi takdir pun tak mungkin slalu sama


Coba-coba lah tinggalkan sejenak anganmu


Esok kan masih ada .. esok kan masih ada




Sambil tersenyum, dia mengakhiri nyanyian itu dengan manis. Aku balas tersenyum. Aku harus pergi, kalau tidak bisa terlambat, batinku. Aku sodorkan selembar 100 ribuan. Matanya membesar.



“Makasih ya dek, Mbak jadi terhibur. Mbak pergi dulu, nih, ada sedikit hadiah dari Mbak untuk nyanyianmu itu. Bagi-bagi sama teman-temanmu. Tapi janji sama Mbak, hari ini kalian nggak usah ngamen ya”, jelasku sambil menyapu pandangan semua wajah yang ada di situ.



“Horee... horee.. asiiikk!”, sorak mereka. “Makasih ya Mbak, makasih ya..”, celetuk salah seorang mereka.



“Makasih, Mbak.”, terdengar lagi. Mereka terus mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum mengiyakan.



“Oh ya, nama kamu sapa?”, tanyaku kepada anak yang berambut merah tadi.



“Namaku Faiz, Mbak. Makasih ya Mbak untuk hadiahnya. Semoga Allah memberi Mbak rezeki yang melimpah dan hidup yang bahagia.”, jawabnya bijak. “Nggak hanya bahagia di dunia tapi juga di akhirat”, imbuhnya tulus.



Aku terharu seraya mengaminkan sepenuh hati. “Makasih atas doanya dek, semoga hal yang sama untuk kalian. Amiin...”, mereka mengaminkan. “Mbak pamit ya, Assalamu’alaikum..”, aku beranjak sambil tersenyum.



“Waalaikumsalam...”, mereka menjawab salamku kompak. Tak tergagap, tak ada cengiran. Yang ada hanya lengkungan indah di sudut kiri dan kanan bibir.



Butiran bening itu akhirnya jatuh bersama semilir angin yang bertiup pelan. Lalu naik, naik semakin tinggi dan menyatu dengan molekul air lainnya di lapisan stratosfer. Butiran dari sudut mataku, dari mata anak berambut merah itu, dan dari mata yang setiap harinya menengadah ke langit seraya berucap, “Terimakasih Tuhan..”. Berusaha bersyukur walau hidup kian terasa sulit.





.....





Aku masih terbang. Tak lama, aku mendarat di sisi tempat tidurku. Lelah. Terasa ada yang sakit. Aku cari di sekujur tubuh, di sayapku, tapi tak ada luka. Sakit..



Sakit dimana?



Luka. Mana yang luka?



Tak ada. Tapi terasa.



Ah, pastilah tak terlihat. Ya, jiwaku yang terluka.



Mengapa? Entahlah. Aku pun tidak tau.



Lelah. Lelah...



.....





Semua ini salah siapa?



Mahasiswa teriak-teriak. “Pemerintah! Pemerintah!”



Sopir menyumpah-nyumpah. “Penghisap darah rakyat itu!”



Para wakil tertawa licik dan berkata,” ..sok suci semua! Hidup butuh duit!”



Seorang laki-laki mendesah nikmat lalu berkata, “Apaan sih sibuk UU Pornografi, munafik lo!”



Orang tua menyalahkan anak. Anak menyalahkan orang tua.



Orang tua menyalahkan Ulama, Ulama ngomong berbusa-busa di kultum, gak sempat masuk telinga jamaah, udah terpental duluan saking bebal.



Orang awam ngekor aja yang penting hidup makmur.



....





Saling menyalahkan, terus berputar di lingkaran setan. Gak mau keluar. Yang nulis ini juga sama. Karena baru bisa sampai tahap menyampaikan, thok!







Aku...





Rindu menempati negeri penuh lengkung indah dimana tiada aroma pekat kesedihan dan luka.





Pernahkah engkau lihat awan yang berarak di hamparan langit biru umpama arakan kuda putih yang berjalan membawa sekedup cahaya?



Aku ingin masuk ke dalamnya.



Mungkin itulah jalan yang dapat membawa aku ke negeri itu.

Read More......

Friday, September 17, 2010

Perjalanan Ke Dua Tanah Suci (1)

Aku yakin pada untaian mimpi yang terwujud menjadi sepenggal episode kehidupan yang manis, bila dirajut dengan usaha dan doa. Selebihnya, biarlah skenario-Nya yang membuat semuanya menjadi lebih indah dan bermakna. . .

Berawal dari 4 tahun lalu, saat menyaksikan teman sekelasku di SMA yang menjemput cita dan cinta di tanah suci-Nya, menunaikan rukun kelima dalam Islam. Waktu itu, terbetik dalam hati ini keinginan untuk melakukan hal yang sama. Kerinduan menginjakkan kaki di sana menyergap begitu saja dan menggetarkan ruang hatiku. Sepulang sekolah, aku menceritakan pada kedua orang tuaku yang telah berhaji mengenai keinginanku itu. Mereka mengaminkan seraya berucap, “Kalau Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil”.

Dan dimulailah pada malam-malam berikutnya, untaian doa mulai kurajut dengan kesungguhan agar Allah berkenan membawaku menyusuri jejak Rasul-Rasul terdahulu dan para sahabatnya dalam memperjuangkan Islam, untuk menyungkur di depan Ka’bah-Nya, bergabung dalam pusaran manusia mengelilingi orbit-Nya, yang tiada berhenti hingga Kiamat tiba.


Tak lama kemudian, setelah masa kelulusan lewat, lingkungan akademisku berganti. Universitas Syiah Kuala. Tempat selanjutnya yang kutuju untuk membongkar gudang ilmu yang telah dipilihkan Allah buatku. Ilmu Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Walaupun sebagian orang mengatakan aku bisa lulus di kedokteran, tapi aku tetap kukuh untuk belajar ilmu tersebut. Karena aku yakin, pilihan Allah tidak pernah salah. Saat itu, impianku untuk berhaji terus mengusikku. Tentu saja, selain berdoa, aku juga mulai berpikir bagaimana cara agar hal itu terwujud. Aku berpikir untuk mulai menabung. Tidak peduli kapan terkumpul uang dalam jumlah yang dibutuhkan, aku harus berusaha. Dan pada saat itulah, Allah menunjukkan kekuasaanNya.

Aku tidak akan lupa. Malam itu, pada semester awal aku mengikuti perkuliahan, Mama menelpon untuk bertanya kabar, mengingatkanku untuk tidak lupa makan, dan beribadah. Sampai pada pertanyaan, “Adek, Mama sama Ayah ada uang lebih di tabungan, rencananya kami mau transfer ke tabungan Adek untuk biaya pendaftaran haji. Adek mau nggak?” tanya Mama. Hah?! Aku terkejut mendengarnya.

“Nggak salah nih?” tanyaku dalam hati. Aku merasa sedang bermimpi.

“Kalau Adek mau, biar Mama transfer dan bisa daftar terus. Kan waiting list-nya panjang tuh. Biar Adek sekalian pergi sama Bunda sekeluarga.” lanjut Mama. Bunda adalah panggilan untuk kakak Mama yang tertua. Selama 2 tahun menjalani perkuliahan, aku tinggal di rumah Bunda.

Aku tetap hening. Otak tak bisa mencerna. Bengong. Masih belum percaya. “Coba Adek pikirkan dulu. Nanti kalau udah ada keputusan, kabarin Mama ya..” tambah Mama saat tidak ada jawaban yang terdengar.


“Iya Ma..” jawabku. Masih dalam keadaan setengah sadar, kujawab salam Mama. Tik...tok...tik...tok... hanya terdengar gerakan jarum jam di dinding kamarku. Aku mencubit tanganku. “Adduhhh...!” keluhku sambil mengusap-usap tangan. Memang bukan mimpi. Seketika kesadaranku pulih. Aku langsung bersujud syukur.

“Alhamdulillah.... Allahu Akbar..!!” ucapku agak keras ditemani air mata yang mulai meliuk turun. Bahagia tak terkira. Baru saja aku berencana menabung, namun Allah memudahkan jalanku lewat rezeki yang diberikan-Nya kepada kedua orang tuaku.

Dari pembicaraanku dengan Mama di telepon, satu hal yang kusadari. Mama sepertinya sudah lupa tentang keinginanku untuk berhaji yang pernah aku utarakan waktu SMA dulu. Makanya Mama menyuruhku untuk berpikir ulang tentang keputusan untuk ikut atau tidak.

Dan Allah mulai mengujiku. Setan menghembuskan bisikan agar aku membatalkan niatku untuk pergi. “Nanti gimana dengan kuliahmu? Kamu pasti ketinggalan dari teman-temanmu.Coba ingat-ingat, tuh si A yang berangkat haji semasa perkuliahan, nilainya turun drastis. IP-nya hancur. Kamu mau merasakan hal yang sama?? Aahh...udaaahh..gak usah pergiii...!”. Keraguan menyusup halus. Aku beristighfar sembari meyakinkan diri. “Skenario-Nya tidak pernah salah. Allah telah menjawab doaku. Di luar sana, begitu banyak orang yang ingin berhaji tapi terkendala dengan finansial. Tetapi aku yang belum punya penghasilan, Allah mudahkan lewat kedua orang tuaku. Apakah aku harus ragu dengan keputusan-Nya? Bukankah Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya?”

Bismillah, aku memantapkan diri. Tidak ada lagi keraguan itu. Besoknya aku langsung menelpon Mama untuk memberi tahu keputusanku. Ucapan hamdalah keluar dari mulut wanita yang sangat aku cintai itu. “Alhamdulillah... senang Mama dengarnya. Tidak semua orang dapat kesempatan seperti Adek. Apalagi di usia muda seperti sekarang. Nanti kalau uangnya udah ditransfer, Mama kabari ya..” jawab Mama. “Oh ya.. jangan lupa terus berdoa agar dimudahkan semuanya. Juga Adek udah bisa mulai baca buku tentang manasik haji. Ibadahnya juga terus diperbaiki dan ditingkatkan. Persiapkan diri lebih awal kan nggak ada ruginya.” tambah Mama.

“Iya Ma. Insya Allah.” jawabku. Kuakhiri pembicaraan dengan mengucap salam.

****************************************************************************************

2 tahun kemudian....
(Mei 2008)

“Ela, Bunda mau daftar manasik haji di Yayasan Al-Mabrur. Ela ikut kan? Katanya bagus disana. Mama juga kenal pendirinya tuh. Dia dulu murid Mama waktu ngajar di SPMA.” tanya Bunda.

“Oh.. kapan mulainya, Bunda? Ela ikut lah..” jawabku.

“Minggu kedua bulan ini. Acaranya di mesjid Lampineung itu. Nanti ada kabar selanjutnya dari Yayasan. Kita tunggu aja.” jelas Bunda.

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Oh ya, Bunda udah tau belum kapan kita berangkat? Tahun ini ya? Kayaknya Bunda udah tau ni. Udah daftar manasik gitu.” tanyaku lagi.

“Belum ada pengumuman dari Depag. Nanti kalau nama kita ada, pasti dihubungi. Pak Cik juga lagi nyari info tentang ini. Kan Pak Cik banyak kenalan di sana.” jawab Bunda. Pak Cik itu panggilan untuk adik laki-laki Bunda yang paling muda. Berarti adik Mamaku juga. Tapi kami keponakannya sering memanggil dengan sebutan “Acik”. Lebih enak didengar.

“Cepat juga ya Bunda kalau tahun ini kita berangkat. Berarti waiting list-nya dua tahun.” tambahku.

“Iya, Alhamdulillah kan.. . Kalaupun nggak jadi tahun ini kita berangkat, minimal kita udah punya bekal ilmu manasik untuk berangkat kesana. Nggak jadi tahun ini, Insya Allah tahun depan.” kata Bunda lagi.

Tibalah waktunya manasik dimulai. Dari Bunda sekeluarga, yang mendaftar untuk berangkat haji adalah Bang Habibi, Dek Ami, Bunda. Dari Acik sekeluarga adalah Acik dan istrinya, Ammah Sarah. Jadi kami semua berjumlah 6 orang. Namun tiba-tiba.....

Bersambung....

Read More......

Thursday, September 16, 2010

Maafkan anakmu

Tak tahu seberapa bulir-bulir peluh yang jatuh,
air mata yang tumpah,
luka yang tercipta di jiwa,
susah yang dirasa,
karena kalian menguburnya di tempat yang tidak kuketahui..., kan?

Agar peluh itu tak mengotoriku,
air mata itu tak membuatku sedih,
luka itu tak mengurangi senyumanku,
dan kesusahan tak menyentuhku.

Yang kutau...

Kasihmu Ayah telah ada sebelum aku lahir
Cintamu Mama... tlah kau alirkan pada tiap elusan di perutmu
Yang kutau...
Kala aku bertumbuh di perut Mama,
Ayah slalu memanggilku “anak Ayah yang shalehah”
stiap pulang mencari penyambung hidup.
Dan Mama slalu berbisik, “Aku bersedia mati demi engkau, anakku...”
Padahal Mama tidak tau wajahku,
Tak peduli aku cacat atau normal.
Saat itu aku hanya bergerak, menendang dinding perutmu.

Maafkan aku, Ayah, Mama...
Karna slalu membuat kalian cemas...
Read More......

Saturday, September 4, 2010

THE TRULY OF “PULANG KAMPUNG”

Pulang kampung? Hmm..mahasiswa banget nih! Tul gak?? Apalagi kalo udah dekat lebaran atau tanggal merah di kalender yang ditunggu-tunggu penampakannya (emang hantu? hii..) walaupun cuma 3 hari, tapi tetep bela-belain pulang. Gak peduli kalo ntar badan pegel-pegel karena maksa pulang, padahal jalan ke rumah tercinta harus ditempuh dengan bus umum 6 jam, nyambung naek angkot 2 jam, ditambah duduk di belakang abang jasa motor 1 jam, trus terakhir bertapak 2 km dari ujung jalan ke rumah karena gak bisa dilewati sama motor (perjuangan banget ni!). Namun, niat pulkam (pulang kampung) gak tergoyahkan. Hmm...ni baru perjuangan di dunia, gimana nanti saat kita semua pulang ke kampung yang sebenarnya ya??

Negeri Akhirat itu Pasti Adanya

Wah..ngomongin akhirat ni. “Kami kan masih muda, ntar aja deh kalo udah tua, kan masih lama!”. Kabuur..hehe..jangan yak! Simak atuh, gak bakal nyesel deh ^-^

Ada yang tau gak pada usia berapa Izrail nemuin kita? Atau ada yang tau gak, dimana kita akan mati? Minta ‘tuk dimundurin jadwal pencabutan nyawa, emang bisa?? Yup, jawabannya TIDAK TAHU. Karena itu semua adalah hal yang gaib. Dan sebagai muslim, kita kudu beriman akan adanya hal-hal itu, karena Allah berfirman :

“Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan mengifakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang yang beriman kepada (Alquran) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.” (Al-Baqarah : 2-4)

Akhirat sebagai tempat tujuan akhir dari perjalanan panjang di dunia, tempat tinggal kita yang abadi adalah negeri yang kita rindukan selama ini. Negeri yang disanalah terdapat kampung kita yang sebenarnya. Dunia ini sobat, nggak ubahnya seperti toko, grosir, warteg, dsb. yang kita singgahi sebentar di tengah perjalanan menuju ke kampung halaman. Kita hanya membeli barang yang dibutuhkan, misalnya makanan ringan untuk melepas lapar, obat Antimo supaya gak mual, pom bensin untuk mengisi bahan bakar kendaraan, dan lain-lain, agar perjalanan menjadi nyaman dan demi satu tujuan, rumah tercinta! Di dunia, Allah menugaskan kita untuk bercocok tanam “amal baik” di tanah “dunia” yang telah Allah sediakan, untuk kemudian diambil hasilnya dan dibawa pulang sebagai bekal di tengah perjalanan supaya kita sampai dengan selamat.

Bayangin deh, seorang musafir di padang pasir yang hanya membawa 1 ekor unta lengkap dengan barang bawaan sebagai bekal, lalu di tengah jalan dihadang oleh perampok gurun sehingga semua barangnya habis dirampas dan musafir itu ditinggalkan gitu aja tanpa bekal sedikitpun, walau hanya seteguk air! Jangankan sampai ke tujuan, mungkin udah jadi tulang-belulang duluan! Na’udzubillahi min dzalik. Makanya sobat, ayo siapin bekal sebanyak-banyaknya hasil cocok tanam yang kita lakukan agar siap menempuh perjalanan panjang yang sulit ini. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita panen. Buruk yang ditanam, buruk pula hasilnya, gitu juga sebaliknya. Tapi dipikir-pikir, emang ada orang yang mau nyiapin bekal roti berjamur misalnya, untuk menuntaskan rasa lapar selama perjalanan??

Kampung Asal Bernama Syurga

Inget gak kisah waktu Nabi Adam as. diturunkan ke bumi bersama Siti Hawa yang tertera di dalam Alquran? Setelah sampai di bumi, Nabi Adam dipisahkan dengan Siti Hawa selama 200 tahun. Lalu keduanya bertemu di Jabal Rahmah (bukit kasih sayang) yang sampai sekarang menjadi tujuan ziarah jutaan para jama’ah haji. Di puncak bukit tempat pertemuan mengharukan itu kemudian didirikan sebuah tugu berwarna putih sebagai pengingat bagi kita semua bahwa kakek-nenek moyang kita pernah dikeluarkan dari kampung asal — syurga — dan berjuang menapaki jalan penuh kerikil dan onak duri untuk kembali pulang, karena memang syurga lah tempat kita berasal. Nah, sekarang tanya deh sama hati kecil kita, karena bisikan hati terdalam tidak pernah berdusta. “Mau balik ke syurga gak? Itu kampung asal lho..” Pasti jawabannya, “Mauuuuuu. Itu kan kampungku..Aku harus berjuang agar bisa kembali kesana!”.


Sobatku yang dirahmati Allah...

Itulah fitrah manusia. Jadi....ayo deh berhenti sejenak untuk melihat sejauh mana persiapan yang udah kita lakukan. Renungi, udah bener blom arah jalan yang kita tuju? Apakah rambu-rambu penunjuk jalan “Alquran dan Hadis Rasulullah” udah kita ikutin? Trus, bahan bakar “amal shaleh” dah diisi blom ke kendaraan “iman”? Kalau belum, buruaaaaaan...gak ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan. Kapan lagi sih kita akan memulainya kalau bukan saat ini juga? Apalagi yang ditunggu?? Mau menunggu hingga rambut memutih, badan membungkuk, langkah kaki gemetaran? Sedangkan Islam menghendaki masa mudamu (masa produktif), bukan masa tuamu. Atau menunggu datangnya ajal baru mengucap kata taubat, sedangkan saat nyawa tlah sampai di kerongkongan, taubat tidak lagi diterima? Apakah kisah para istri Rasulullah saw yang disuruh memilih antara kenikmatan dunia dengan akhirat tak mampu membuka mata hati yang tertutup? Atau kisah orang-orang terdahulu yang ditimpa azab yang sangat keras karena mengingkari firman-Nya tak bisa menyentuh dasar hati kita? Atau gambaran syurga dengan segala kenikmatannya tak lagi dapat membangkitkan kerinduan melihat wajah-Nya?? Lalu apa yang ingin kita lakukan, menghabiskan waktu yang semakin sedikit ini untuk bersantai-santai, padahal syurga bukanlah sesuatu yang Allah hadiahkan begitu saja!


Jangan Lupa Jalan Pulang

Tulisan ini kuhadiahkan untukmu saudara-saudaraku sebagai salah satu bukti cintaku padamu. Sebentuk cinta seorang muslim kepada saudara-saudara muslimnya yang lain. Rasulullah bersabda :
“ Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.

Mari bercermin kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., sahabat sejati Rasulullah saw yang rela kakinya dipatuk ular untuk melindungi Rasul saat mereka berlindung di dalam gua dari kejaran kaum musyrikin Mekah. Kepada Umar bin Khatab ra. yang selalu menangis kala teringat perbuatan beliau mengubur hidup-hidup anak perempuannya yang masih kecil semasa jahiliyah dulu, hingga aliran air matanya berbekas hitam di kedua pipinya. Kepada Usman bin Affan ra. yang sangat pemalu, malu melakukan dosa, malu bermaksiat kepada Allah hingga malaikat pun merasa malu kepadanya. Kepada Bilal bin Rabah, seorang budak hitam tapi menjadi muazin kesayangan Rasulullah, yang bunyi sandalnya di syurga terdengar oleh Rasul dalam mimpi karena tidak pernah meninggalkan shalat sunat setelah wudhu, serta komitmennya memeluk Islam walau ditindih batu besar pada siang hari yang sangat terik. Disaat tersiksa begitu pun, masih keluar kalimat agung dari mulutnya, “Ahad...Ahad..(Esa...Esa..)”, teguh memegang keyakinan Allah lah satu-satunya Tuhanku.

Bila suatu waktu kita meniti jalan yang salah, segeralah kembali. Fitrah bila seorang manusia berbuat khilaf, terjebak dosa, sebab kebodohan. Tapi lantas jangan jadikan dosa itu sebagai sesuatu yang membuat kita berputus asa dari rahmat-Nya. Dosa dan kebodohan bisa menjadi jalan yang mendekatkan kita kepada Yang Maha Penyayang. Dengan dosa, seseorang kembali teringat Tuhannya sehingga berusaha untuk bertaubat dan terus melakukan hal-hal yang disukai-Nya hingga Allah mencintai-Nya.

Seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku, yang mencari kedekatan dengan-Ku melalui amal yang Aku wajibkan atasnya, maka ia sungguh-sungguh menjadi dekat kepada-Ku melalui amal shaleh yang ikhlas sampai Aku mencintainya. Bila Aku sudah mencintai-Nya, Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; dan menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara; dan menjadi tangannya yang dengannya ia memukul. Bila dia menyeru-Ku, Aku menjawab; dan bila dia meminta dari-Ku sesuatu, Aku memberinya.


Sadar dengan kebodohannya, dia berusaha belajar, mencari ilmu, menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari hingga Allah meninggikan derajatnya karena ilmu yang dimilikinya dan amalan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan dengan hati yang lalai!

Ampunan-Nya begitu luas, kasih sayang-Nya melebihi kasih seorang Ibu, karunia Allah tidak pernah dicabut walaupun maksiat tidak berhenti kita perbuat. “Maka, nikmat-Nya yang manakah yang akan kau dustakan?”.

Sobatku yang disayangi Allah, maka dari itu jangan lupa jalan pulang ke kampung asal kita. Jangan pernah lupa. Syurga, tempat nanti dimana kita akan berkumpul sambil duduk berhadap-hadapan dan bernostalgia saat-saat hidup di dunia, tempat dimana kita dapat melihat wajah-Nya yang Maha Indah, yang tiada kenikmatan yang lebih dari itu.

Mari kita berjuang menapaki jalan penuh kerikil dan duri yang tajam ini, mari melangkah bersama, pegang tanganku dan berjanjilah untuk tidak pernah menyerah. Semoga Allah menaungi kita dengan mahabbah-Nya di dunia dan di hari dimana tiada naungan selain naungan-Nya. Amiin..

Allahummasyhad....Allahummasyhad...Allahummasyhad..


Salsabila Ahdhar
12 September 2009
Alunan cinta yang tak pernah berhenti
Read More......

Wednesday, September 1, 2010

Percaya Pada 5 cm di Depan keningmu



Terkadang dalam hidup, saat menjalani rentetan target yang udah kita pasang sejak lama (apapun itu), gak bisa dipungkiri akan datang masa-masa dimana nyala semangat yang kita kobarkan sedikit meredup. Menurut survey kecil-kecilan yang saya lakukan, banyak banget penyebabnya. Tetapi bukan itu yang pengen saya ungkapin disini, mungkin di lain kesempatan (gak janji yaa..). Yah,,saya pun pernah merasakan hal yang sama. Manusiawi banget. Nah, kalau dah nyampe pada keadaan yang demikian (kayak sekarang nih), saya suka nyari motivasi dari tumpukan buku favorit yang kalau dibaca ulang bisa bikin semangat berkobar lebih besar dari sebelumnya.

Hmm,, kali ini buku pilihan saya berjudul “5 cm” yang ditulis secara keren banget oleh Donny Dhirgantoro. Ngeliat kaver depannya yang dominasi warna hitam, dengan tambahan kata-kata pilihan di bagian latar belakang yang berwarna senada, tampak sederhana banget dan unik. Lain daripada yang lain. Tapi supaya kita gak pusing mikirin “kenapa sih, kavernya kok kayak gitu?”, Mas Bayu Abdinegoro yang merupakan graphic artist-nya (yang desain kaver) berbaik hati mengungkapkan refleksi kaver buku ini dalam bahasa yang singkat tapi dalem.

“Impian, Cinta, dan Kehidupan.”
Sederhana, tapi luar biasa... ada dalam diri setiap manusia jika mau meyakininya.



Keren ya. Nah, bagi yang penasaran dan pengen tau lebih banyak tentang buku ini, silahkan beli di toko-toko terdekat. Dijamin gak nyesel. Oya, saat membacanya, jangan lupa pake filter. Bagian yang jelek dibuang, yang bagus diambil, dan letakkan di tempat rahasiamu. Jadi kapanpun kamu butuh, kamu bisa mengeluarkannya kembali dan menggunakannya untuk menginspirasi lembaran hidupmu.

Kembali ke topik awal. Sewaktu membaca sebuah buku, saya suka banget nyari bagian dari buku tsb yang bisa menginspirasi/memotivasi. Dan saya ingin berbagi dengan pembaca bagian yang menginspirasi/memotivasi tersebut terkait dengan paragraf pertama dari catatan sederhana ini.

“..... begitu juga dengan mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, taruh di sini. “ Ian membawa jari telunjuknya menggantung mengambang di depan keningnya...

“Kamu taruh di sini... jangan menempel di kening.

biarkan...

dia...

menggantung...

mengambang...

5 centimeter...

di depan kening kamu...”

“Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan kamu itu dan kamu NGGAK BISA menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apa pun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri...”

“Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu. Dan... sehabis itu yang kamu perlu... cuma...”

“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya.”

“Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja...”

“Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya...”

“Serta mulut yang akan selalu berdoa...”

“Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seseorang yang percaya pada KEKUATAN MIMPI dan MENGEJARNYA, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. Tapi seorang yang selalu percaya akan keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita, dan keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka berapa pun... Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.”

“Percaya pada 5 centimeter di depan kening kamu.”

Saya berterima kasih kepada Donny Dhirgantoro yang telah menulis sebuah buku yang telah mengubah pandangan saya tentang banyak hal dan memasukkan hal-hal yang baru dalam dunia saya. Ya, tidak hanya saya, tetapi ribuan orang yang telah membaca buku ini mengatakan hal yang sama lewat email yang dikirim kepada penulis.

Impian (tentu saja dengan izin-Nya) yang membawa saya bisa menginjak Pulau Jawa, bertemu dengan orang-orang luar biasa, belajar arti keluarga, sahabat, teman, arti kampung halaman. Di sini saya merasakan betapa saya merindukan Pulau Sumatra, khususnya Aceh, padahal baru 1 bulan 4 hari saya meninggalkannya. Juga merindukan suasana Ramadhan disana. Sungguh banyak yang saya dapatkan di sini. Saya bersyukur karenanya. Dan hal ini adalah bagian kecil dari serangkaian mimpi saya yang telah terwujud terlebih dahulu semata karena kemurahan-Nya.

Untuk mereka yang masih belum percaya—walaupun manusia tidak akan pernah bisa memutar kembali waktu untuk mengulang kembali semuanya dari awal—Tuhan telah memberikan kebebasan bahwa setiap manusia bisa memulai kembali semuanya dari sekarang, untuk membuat akhir yang baru, akhir yang lebih indah.

Bangsa yang besar ini juga harus punya mimpi...
Terima Kasih,


Humaira Meirina
Read More......
 
Copyright 2009 Sepenggal Episode Kehidupan. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator