Saturday, February 26, 2011

M.E.N.U.N.G.G.U.

Dua tahun yang lalu puisi ini tercipta. Seperti biasa, inspirasi datang begitu saja.

Semua titik terlihat tak bermakna

Yang mendesakku kembali ke sana

Awal yang menjadi luruhan daun kering

Akhir yang menyejukkan umpama salju,

yang bergelantungan di pucuk cemara

tak mengapa bila terkena surya

abadi, tidak mati


Onak duri yang terhampar di tanah bernama hidup

Tajam kerikil menggores tiap pejuang : aku dan kamu

Ingin kembali dan tak undur

Karna negeri bahagia tlah menanti

Dia juga, yang sangat merindu


Lengkungan indah pada sisi pelangi

Alunan musik sederhana dari bibir-bibir polos

Wajah-wajah malaikat yang merana bahagia

Atmosfir penyaman melingkupi keseluruhan tanahku

Apalagi yang kubutuh?

Bila pun sabit tak bisa menjadi purnama

Di penjara berbungkus keindahan

Aku mau menunggu

Karena janji kepastian tak pernah mengecewakan

Kalaupun aku menduluimu pada gerbang depan

Langkah tak berlanjut

Menunggumu....’tuk saling mengaitkan jari,

menapak bersama ke dalam impian kita,

sebabnya bergegaslah

Aku menunggu, di sini.


13 September 2009,

[Sakit yang bercahaya]



Read More......

Thursday, February 24, 2011

Maafkan Diri, lalu...




(Ditemani dentingan manis Yiruma “Kiss The Rain”, teringat suatu hal di lampau yang belum aku selesaikan. Satu cara untuk menyelesaikan adalah dengan menuliskannya dengan caraku sendiri. Setelahnya aku bisa lega dan tidak melihat lagi ke belakang. Dan tentu saja, aku bisa memaafkannya.)

Sekitar 3 tahun yang lalu, sebuah tawaran menghampiri. Suatu organisasi kampus meminta kesediaanku untuk berkontribusi dengan jabatan penting. Awalnya berat bagiku untuk mengiyakan, karena aku kurang menyukai atmosfer yang terlebih dulu tidak menyenangkan pada pertemuan pertama antar pejabat teras. Namun, saat itu pemikiran idealisku menyuruhku untuk mencoba keluar dari “cangkangku” yang nyaman. Semata agar aku tidak menjadi pengaplikasi dari pepatah “Seperti katak dalam tempurung”. Di sana lah aku bertemu dengannya, seseorang dengan segala kenangan yang ikut bersamanya telah mengendap di alam bawah sadarku selama 3 tahun. Pertemuan yang bertahun-tahun kemudian telah memberiku banyak kedewasaan.

Dia menyukaiku. Sebenarnya aku tidak peka tentang itu. Tapi, seorang sahabat memberitahuku. Tujuannya agar aku lebih sadar dengan siapa aku akan bekerja sama. Kalau dipikir kembali, semuanya akan menjadi berbeda bila aku tidak tahu. Karena saat itu aku berubah memandangnya dalam konteks yang lain. Ah, aku tak tahu bagaimana mendekripsikannya. Sadar atau tidak, semua cerita dimulai dari saat itu. Tahun-tahun dimana aku bekerja sama dengannya membuatku lebih tahu banyak tentangnya. Kebaikannya, keberaniannya, keunikannya, kritis, dan pembawaannya yang cenderung kasar dan ketus. Tak perlu waktu lama untuk tahu, yang terakhir itu adalah topeng untuk menutupi perasaannya yang rapuh. Interaksi yang kian intens membawaku ke dalam dunia yang sudah lama tidak kusentuh: jatuh cinta. Begitulah skenario dari-Nya yang harus aku jalani. Dari sini, jalan yang aku tapaki lebih terjal. Lebih banyak yang harus dikorbankan untuk sampai ke puncak. Pada akhirnya aku kalah. Aku jatuh ke jurang yang dalam dan berduri. Ya, hal ini membuatku rapuh dan lemah. Aku jadi lebih banyak merenung. Aku tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini. Saat itu, aku memutuskan untuk mengetik sebuah surat untuk dia. Isinya bercerita mengenai aku dan dia. Sebuah kebenaran yang tidak bisa lagi aku kurung. Aku tidak sanggup menanggungnya. Dia membalasnya dengan isi surat yang jujur, rapuh, tapi ingin tegar. Dia menghormatiku dengan caranya. Dia tahu aku tidak memilih jalan yang lazim dipilih banyak orang untuk mengekpresikan rasa yang tengah melandaku. Akhirnya,
aku akan datang 5 tahun lagi dengan kepribadian yang lebih baik. Itulah janjinya. Saat itu aku menanggapi dalam hati dengan ragu. Benarkah? Apakah ini baik?

Dalam keraguan yang menyerangku dari semua sisi, aku menyendiri di malam yang sunyi. Berduaan dengan-Nya. Bercerita-layaknya curhat, menangis sesenggukan, mengais ampunan, dan memohon petunjuk dimana jalan keluar dari semua yang membingungkanku. Dan tak lama, Allah menjawabnya. Suatu hari aku disuguhi berita di situs jejaring sosial mengenai dia. Berpacaran dengan ***. Aku hanya membeku. Dan tidak menyentuh apa-apa selama sehari penuh: tidak makan, tidak minum, hanya diam di sudut kamar ditemani bening-bening yang terus mengalir. Aku membiarkan perasaan “konyol dan kawan-kawannya” itu merongrongku sampai puas. Akhirnya perasaan itu menyerah dan pergi. Aku merasa lelah dan tertidur dengan bekas bening di sudut mataku.

Perlahan, dengan luka-luka yang ditorehkan cukup dalam di dinding hatiku, aku bangkit. Menata kembali hidupku. Menambah interaksi dengan-Nya saat kesunyian malam tiba. Aku akui, tidak hanya keburukan yang datang selama aku melalui semua ini. Percaya atau tidak, hal itu membuatku menjadi lebih sering bertemu dengan-Nya. Meluahkan perasaanku, membeningkan hati untuk lebih jujur mengakui kesalahan-kesalahanku, dan mempercayai kelembutan kasih-Nya untuk menyembuhkan luka di hatiku. Setahun kemudian, aku masih dan terus belajar bagaimana menjadi ridha dan ikhlas atas apa yang telah berlaku. Aku belum cukup kuat untuk menyambung kembali silaturahmi yang terputus. Dia juga tidak pernah berucap meski satu kata mengenai hal itu. Aku tahu dalam keseharianku bertemu dengannya, dia ingin menyapaku dan mengungkapkan banyak hal. Tapi mungkin dia tidak mampu. Aku masih berusaha untuk memaafkannya. Dan hari ini aku tidak mau menunda lagi.



Aku ingin melangkah lebih jauh dan terbang lebih tinggi. Aku percaya bahwa di belahan dunia lain, setengah bagian diriku juga sedang mencariku. Aku memutuskan untuk mengunci ruang yang khusus aku sediakan untuk pasangan jiwaku. Nanti, tiba masanya, aku akan menyerahkan kuncinya-dengan dibimbing olehNya- pada orang yang tepat.

Aku tahu rezki ku tidak akan diambil oleh orang lain, karena itulah aku tenang.
Aku tahu amalku tidak akan diambil oleh orang lain, karena itulah aku sibuk beramal .
Aku tahu Allah selalu mengawasiku, karena itulah aku malu bila Dia melihatku dalam kemaksiatan.
Aku tahu kematian sudah menunggu, karena itulah aku selalu sibuk menambah bekal untuk hari pertemuanku dengan Allah.


Hari ini aku sadar, selama ini aku belum memaafkan diriku atas semua yang aku lakukan di lampau sana. Aku belum bisa menerima atas ketergesaanku dalam mengambil keputusan sehingga mengacaukan arah jalan yang tengah aku tempuh. Aku sudah menyadari, aku tidak akan pernah bisa memaafkannya sebelum aku melakukan hal itu. Dan sekarang aku sudah memaafkannya.

Aku memaafkanmu untuk semuanya. Aku harap silaturahim ini kembali terajut dengan lebih baik. Ingatkah ini di dalam suratku 2 tahun yang lalu:
“Nanti saat dimana mungkin dirimu telah menimang cucu dan di tempat lain aku juga demikian, mungkin masing-masing kita akan tersenyum mengingat kisah ini.”
Entah kapan, saat kita bertemu nanti, aku tidak mau kau mengungkitnya lagi. Karena aku sudah memaafkan semuanya. Semua yang bisa aku ingat. Dan maafkan aku untuk semua salahku. Mungkin ada kata-kataku dalam tulisan ini yang menyinggungmu, maafkan aku juga untuk itu. Semoga Allah meridhainya...


Darussalam, 25 Februari 2011
[Di tengah dentingan Yiruma yg belum berhenti]

Read More......

Thursday, February 17, 2011

Bekerja Keabadian



Saat engkau mengajarkan suatu ilmu yang ahsan (baik) kepada org lain, sesungguhnya engkau tengah "menanam satu bibit pohon" di dunia ini. Akarnya tumbuh menghujam dengan kuat ke dalam tanah demi meneguhkan berdirinya "calon pohon" ini. Batang-batangnya tumbuh membesar dan memunculkan ranting-ranting kecil yang terdapat dedaunan yang hijau lagi segar. Seiring berjalan waktu, kelopak bunga mulai bermunculan, tak lama bunga-bunga cantik tumbuh di sela kelopak dan menebarkan aroma harum yg menyenangkan hati. Orang-orang yang lewat di dekatnya, mulai tertarik dan merasa nyaman untuk duduk di bawahnya sekedar bersandar untuk melepas lelah dan bernaung dari teriknya matahari.

Tak berhenti disitu."Pohon" ini juga mulai memproduksi oksigen lebih banyak terutama di siang hari yang panas. Itulah sebabnya engkau merasa sejuk kala duduk santai di bawahnya. "Pohon" itu terus tumbuh dan tumbuh. "Oh, lihatlah! Buah-buah ranum sudah muncul. Pohon ini memang sangat bermanfaat." Begitulah kata orang-orang yang memerhatikan "sang pohon". Yang diperhatikan terus tegak berdiri dan semakin besar. Besar yang tidak menjulang. Besar yang membaikkan.

Bila seseorang memetik buahnya, "pohon" membalasnya dengan menumbuhkan buah yang lebih lezat dan lebih besar. Pun ada yang melempar batu padanya, "dia" memilih diam, padahal "dia" hidup. Tunduk penuh pada titah Tuhannya untuk tetap di tempat ia bertumbuh, meski bertahun lamanya. Tidak mengaduh secuap pun.

Ilmu ahsan yang engkau ajarkan, seperti ini. Amal keabadian. Seperti pohon indah itu, dia tumbuh dan terus tumbuh di salah satu taman syurga-Nya. Menunggu kedatanganmu untuk menyapamu. Menemanimu agar sepi tak menghinggapi. Menerangi sekelilingmu, agar hilang takutmu akan gelap yang berlipat-lipat. Tapi kau akan melihatnya nanti, di masa depan pada sebenar hidupmu. Ya, engkau benar. Itulah tempat tumbuhnya, kuburmu dan padang mahsyar kelak. Sebab itu, janganlah ragu menyebarkan ilmu apapun yang engkau tau. Aku juga tengah berusaha. Karena aku ingin bekerja untuk keabadian. Untuk masa depan pada sebenar hidupku. Insya Allah.


Mencari dan mencari
pada kumpulan lembar usang bercuil debu

di punggung semut bersisa remah-remah roti

pada lubang-lubang berliku bekas sadapan getah

di titik putih tertiupnya kepakan bulu-bulu indah

dan di pusaran biru, tempatku melepas lelah, hanya tatap saja


Mencari dan mencari

hingga penantian berbuah indah

dan menemukan muaranya

(Humaira Meirina dalam "Mencari")

Wallahu'alam.

*Darussalam, 18 Februari 2011

[Di sela-sela membuat slide presentasi, hehe..]
Read More......

Damai Bersama-Mu



/Aku menyandarkan punggung di dinding kamar. Menyelonjorkan kaki. Menarik nafas perlahan, menghembuskannya, lalu perlahan mataku menghangat. Aku membiarkannya/

Kemarin aku melafalkan berulang, "Aku ingin pulang, aku ingin pulang, aku ingin pulang."

Pulang. Kembali ke rumah. Tidur di pangkuan Mama. Rebah di lengan Ayah. Bercanda dengan adik laki-lakiku. Sebentar saja. Aku ingin menghirup udara rumahku. "Istana hatiku". Tempat paling nyaman bagiku untuk membagi "ujian"ku.

"Ujian" ini mengambil semuanya. Energi hidupku. Jatuh, tergores, berdarah-darah. Lalu dengan izin-Nya, aku bangkit. Dengan bekas luka-luka, aku mencoba berdiri. Tegak dan perlahan menyembuhkan diri. Sebab aku HARUS memenangkan 'perang' ini. Allah mencintai yang berjihad, inilah jihadku. Allah mencintai hal itu, maka aku BELAJAR UNTUK MENCINTAINYA.

Hidup adalah BELAJAR.
Belajar bersyukur meski tak cukup,
Belajar ikhlas meski tak rela,
Belajar taat meski berat,
Belajar memahami meski tak sehati,
Belajar bersabar meski terbebani,
Belajar setia meski tergoda, belajar dan terus belajar,
Meski keyakinan setegar karang, karena menjadi kodrat bahwa hati seperti air laut; Bergelombang, pasang surut dan sering terbawa arus.
Dan lebih dari itu,
Hidup juga adalah MENGAJAR.
Tak lelah mewarnai,
Setia menerangi,
Ada untuk menginspirasi.



Ya, dulu aku sudah "kenyang" melewati hari tanpa sentuhan cahaya-Nya. Saat aku merasa sesak dengan dosa. Bagai mendaki ke langit. Tidak ada kedamaian di detik yang lewat saat aku jauh dari Allah. Cukuplah aku yang merasakan penderitaan itu.

Saudaraku, kedamaian hanya terletak pada-Nya. Karena itu mendekatlah kepada Allah. Jangan biarkan dirimu terlepas dari-Nya walau sekejap.


Aku termenung di bawah mentari

di antara megahnya alam ini

menikmati indahnya kasih-Mu

kurasakan damainya hatiku


Sabda-Mu bagai air yang mengalir

basahi panas terik di hatiku

menerangi semua jalanku

ku rasakan tentramnya hatiku



Jangan biarkan damai ini pergi

jangan biarkan semuanya berlalu

hanya pada-Mu Tuhan

tempatku berteduh

dari semua kepalsuan dunia


Bila ku jauh dari diriMu

akan kutempuh semua perjalanan

agar selalu ada dekatMu

biar kurasakan lembutnya kasihMu


Jangan biarkan damai ini pergi

jangan biarkan semuanya berlalu

hanya pada-Mu Tuhan

tempatku berteduh

dari semua kepalsuan dunia

Read More......

Saturday, November 20, 2010

Kerudung itu...

Hmm... sudah lama aku tidak bercerita pada kalian ya. Padahal begitu banyak ide cerita yang berseliweran di kepalaku. Topik-topik yang menarik untuk aku bagi (setidaknya menurutku itu menarik, haha..). Baiklah. Hari ini aku akan bercerita lagi tentang apa yang sedang aku pikirkan.

Dulu, saat aku masih memakai baju putih dan rok merah selutut, keinginanku untuk memakai kerudung telah muncul. Aku sangat suka melihat para wanita berkerudung yang sering aku temui sepanjang jalan pulang ke rumah. Paras yang indah dipadankan dengan balutan busana muslimah, sangat menyejukkan. Itu yang aku rasakan. Saat itu, aku mengatakan pada ibuku bahwa aku ingin berkerudung. Waktu itu, aku tidak tau mengapa wanita berkerudung. Aku hanya S.U.K.A. Ibuku bilang aku belum wajib memakainya dan menyuruhku menunggu hingga aku menamatkan sekolah dasar. Aku menurut saja dan bersabar.

Aku menamatkan sekolah dasar dengan nilai yang sangat memuaskan. Tentunya orang tuaku sangat bangga. Aku pun mendaftar di sekolah menengah pertama dengan tantangan harus lulus dalam seleksi yang ketat karena sekolah yang aku pilih adalah sekolah favorit di kota Lhokseumawe. Alhamdulillah, aku lulus. Saat itu, aku kembali teringat dengan keinginanku untuk mengenakan kerudung. Dan senyumku mengembang ketika menerima seragam sekolah yang salah satunya kerudung berwarna putih dengan model yang telah ditentukan.

Besok adalah hari dimulainya aktivitasku yang baru sebagai siswa dari sekolah menengah pertama. Malamnya, aku mematut diri di cermin sambil mengenakan seragam baru. Rasanya sangat menyenangkan. Kau tahu, bukan? Perasaanku ini sama dengan perasaan yang kau alami saat suatu keinginan terpendammu berhasil kau penuhi. Apapun itu. Saat menulis ini, aku juga teringat saat aku pertama kali mencoba mengenakan kerudung segi empat berwarna coklat tua sebagai pelengkap seragam pada hari Jumat dan Sabtu. Hal itu adalah kenangan yang—kalau aku pikirkan sekarang—terasa konyol. Waktu itu aku ingin mengenakannya dengan rapi. Aku berusaha membentuk sebuah lipatan yang sejajar di sisi kiri dan kanan. Simetris. Saking ingin tampil rapi, aku menandai dengan pulpen secara samar di atas kain tersebut, tempat lipatan yang telah aku bentuk sehingga aku bisa membentuknya kembali tanpa perlu bersusah payah lagi. Hahaha...

Sekarang aku sangat bersyukur dengan kepekaanku pada kerudung pada usia yang masih sangat muda. Kepekaan yang sering disebut dengan fitrah. Setiap jiwa seorang muslim pasti memiliki fitrah, yaitu sebentuk kesadaran tentang hal yang memang seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang muslim. Fitrah yang selalu mengingatkan kita saat berbuat salah dengan memunculkan rasa bersalah dalam hati. Kefitrahan yang menimbulkan rasa damai saat mendengar lantunan merdu ayat suci Alquran dan semua hal yang mengajak kita kembali ke jalan Islam yang sungguh indah.

Perjuanganku untuk mengenakan kerudung sesuai yang disyari’atkan dalam Alquran bukan mudah. Aku harus menghadapi berbagai tantangan yang menggelincirkan langkahku untuk tetap istiqamah. Tantangan terberat adalah ibuku. Seiring bertambahnya pengetahuanku tentang Islam dan keterlibatanku secara aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti ROHIS (Rohani Islam), aku menyadari bahwa kerudung yang aku pakai belumlah syar’i (sesuai syari’at). Aku juga masih melepaskan kerudung sepulang dari sekolah walaupun secara fisiologis aku belum baligh. Setelah baligh, aku semakin berat untuk melepaskan identitas muslimahku. Aku terus memperbaiki diri. Dan saat itu pula, ibuku semakin kritis dalam menilai penampilanku yang terlihat aneh di matanya.

Aneh, karena aku memakai kerudung yang lebar dan menutupi bagian dada. Aneh, karena aku memakai baju panjang yang menutupi seluruh tubuhku dengan sempurna. Aneh, karena bagi ibuku, penampilanku kelihatan seperti lansia dan beliau takut aku tidak laku (emang kue?). Ibuku ingin aku tampil modis non syar’i (bagiku ada istilah modis syar’i, di kesempatan lain akan aku ceritakan yaa.. ^__^ ) dengan mengikat kerudung ke leher. Alasannya adalah agar motif jahitan di baju yang terletak di bagian dekat leher atau dada dapat dilihat dengan jelas. Gaya kerudung yang aku kenakan dapat menutupi motif itu sehingga membeli baju tersebut menjadi sesuatu hal yang sia-sia.

Setiap kali aku akan keluar rumah untuk suatu kegiatan, ibuku selalu mengkritisi penampilanku keseluruhan sehingga tidak jarang kami bertengkar dan berakhir dengan air mata. Ya, aku selalu menangis. Karena yang menentangku dalam berkerudung secara benar adalah ibuku sendiri yang sangat aku sayangi. Ayah akan mendukung ibu karena kesetiaannya. Saat itu aku hanya bisa curhat kepada Allah. Aku selalu berdoa agar suatu hari nanti Allah membuka hati kedua orang tuaku sehingga bisa memahami Islam dengan benar dan memuluskan jalanku untuk berdakwah. Dan Allah Maha Besar. Beberapa tahun kemudian, Allah mengabulkan doaku. Tahun 2003, kedua orang tuaku berangkat ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima selama 40 hari. Selama itu, aku menyadari bahwa aku sangat menyayangi keduanya dan terus mendoakan keselamatan untuk mereka. Kepulangan tiba. Saat memeluk ibuku, aku tau, mereka sudah berubah menjadi lebih baik. Aku bisa merasakannya.

Semenjak itu, sikap kedua orang tuaku perlahan berubah ke arah yang positif. Aku sangat bahagia. Lama kelamaan, Ibu tidak pernah lagi menentangku untuk berkerudung syar’i. Aku menyadarinya, sesungguhnya Ayah dan Ibu hanya belum tau tentang Islam secara benar. Sekarang, Ibu lah yang mengingatkanku untuk berkerudung bila ada tamu yang bukan mahram datang mengunjungi. Juga ibadah-ibadah lainnya. Ayah dan Ibu sekarang aktif mengikuti majelis ta’lim. Bahkan Ibuku mampu menerjemahkan hampir keseluruhan ayat Alquran.

Aku sadar, saat itu Allah menguji keistiqamahanku juga kedua orang tuaku. Allah Maha Pemurah. Allah memberiku lebih dari yang aku minta dan menjagaku dengan mengaruniakanku kedua orang tua yang shalih sehingga sentiasa mengingatkanku untuk selalu istiqamah pada jalan Islam. Alhamdulillah....

Setiap mengingat kisah ini, aku sangat bersyukur dan berharap semoga di luar sana setiap muslim dan muslimah merasakan keajaiban kasih sayang-Nya. Amin....
Read More......

Wednesday, October 13, 2010

Oh, Beautiful Eyes

Eyes.. The most effective communicator in Love... Reading each others eyes, and communicate without speaking even a word, it is the direct talking between the hearts. Isn't it beautiful, when you know that your soulmate read everything in your heart without you explicitly tell her... Immerse completely in Love and
feel the magic...

This song celebrates the language of the eyes. Gulzar saab pens it like the way only he can. Rahat Fateh Ali Khan voices it perfectly. The richness and a bit of oldiness in the music syncs well. Violin, flute and the jhanaks gives it a dreamy touch. Listen to it and start dreaming about your soulmate, with eyes closed...


Surili Akhiyonwale, Suna Hai Teri Akhiyon Se
Oh beautiful eyes, I hear your eyes

Behti Hai Neendein Aur Neendon Mein Sapne
I saw sleep, and dreams floating in it

Kabhi To Kinaron Pe, Utar Mere Sapnon Se
At times, from the dreams please come down to my side

Aaja Zameen Pe Aur Mil Jaa Kahin Pe
Come down and lets meet somewhere

Mil Jaa Kahin, Samay Se Pareh
Lets meet somewhere beyond time

Tu Bhi Akhiyon Se Kabhi Meri Akhiyon Ki Sunn
Let your eyes listen to my eyes


Jaane Tu Kahan Hai
Don't know where you are

Udti Hawa Pe Tere Pairon Ke Nishan Dekhe
I saw your footsteps in the breeze

Doondha Hai Zameen Pe,
I searched the entire world

Chana Hai Falak Pe
My face so eager

Saare Aasman Dekhe
Searched the entire sky

Mil Jaa Kahin, Samay Se Pareh
Lets meet somewhere beyond time

Tu Bhi Akhiyon Se Kabhi Meri Akhiyon Ki Sunn
Let your eyes listen to my eyes


Everytime I look into your eyes, I see my paradise
The stars are shining right up in the sky, painting words of desire
Can this be real, are you the one for me
You have captured my mind, my heart, my soul on earth
You are the one waiting for


Hoth Mein Chupke Dekh Rahe The, Chaand Ke Peeche, Peeche The
Was looking at your lips, hiding behind the moon

Saara Jahan Dekha, Dekha Na Aakhon Mein, Palkon Ke Neeche The
Searched the entire world, but not in the eyes and it was under the eye lashes

Aa Chal Kahin, Samay Se Pareh,
Lets go, somewhere beyond time

Tu Bhi Akhiyon Se Kabhi Meri Akhiyon Ki Sunn
Let your eyes listen to my eyes

Sumber : Lupa :D


Read More......

Thursday, October 7, 2010

Terimakasih, Sampai Jumpa

Terimakasih karena telah bertanya, “Apa kau belum menemukannya?”. Dan aku hanya bisa menjawab dengan gelengan sembari tersenyum. Apa lagi jawaban yang mampu aku rangkai?

Kau menawarkan ini dan itu untuk membantuku mewujudkan mimpiku. Yah, aku tak terlihat olehmu. Walaupun di dasar samudera tempatku menyimpan kotak-kotak rahasiaku, ada satu kotak milikmu yang aku tata dengan rapi, bertahun-tahun. Tentu saja kau tidak tau itu. Tak perlu.

Walaupun ada denyut kesakitan yang timbul dan tenggelam tiap kali kau bercerita dengan wajah yang sumringah dan mata yang bersinar ceria tentang dia. Dia yang telah ada sebelum aku jauh mengenalmu. Ah, rasanya tak pantas aku menyela di antara kalian. Seperti tak ada orang lain saja yang bisa menaklukkan “samudera”ku. Begitulah aku menghibur diri.

Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu atau sama sekali tidak peduli karena pikiranmu dipenuhi oleh dia. Walaupun sekarang,
setiap kali aku duduk melihat kerlap-kerlip cahaya pada selimut hitam di atas sana yang dibentang setelah rona kuning dan jingga mengalah dan letih untuk menyapa, bulir bening setia menganak hingga aku tertidur di peraduanku.

Biasanya aku tidak begini. Sentimetil dan rapuh. Namun, entah mengapa, kian hari pertahananku kian lemah, setiap kali aku tahu kau akan pergi jauh dan aku tak bisa mengikutimu. Sekali saja, aku ingin bertanya, “Apakah pandanganmu yang lekat kau tujukan padaku saat pertama kali aku melihatmu di taman itu, tidak berarti apa-apa?”.

Juga, apakah kau tahu? Aku baru menyadari sedemikian kejamnya kau taklukkan “samudera”ku, sekarang, setelah dedaunan yang mati bereinkarnasi dalam bentuk yang sama. Kejam yang mengasyikkan. Aku akui itu.

Tidak, tidak, kau tak perlu cemas atau merasa kasihan. Aku tidak akan membiarkan diriku tenggelam dalam “samudera” ku sendiri. Aku tahu harus bagaimana. Kau, pergilah kemanapun kehendakmu. Dan biarkan aku bertapak di jalanku. Bila Tuhan melukiskan jalanku sama denganmu, walau berliku-liku, pasti akan bertemu. Aku yakin.

Aah, kau masih bertanya “bila tidak”. Aku akan berdoa untukmu dengan keseluruhan hatiku. Semoga bahagia selalu mengikutimu di dunia ini dan tentu saja di akhirat kelak. Percayakah kau?

Izinkan aku berkata kepadamu untuk yang terakhir dalam masaku yang mellow ini, aku mengabadikannya saat menit-menit tenggelamnya senja yang melingkupi Aisya, Anis, dan Daniel.


Beburung berzikir di sangkar Raudhah

Menyambut azan di tabir senja
Insan berkasih karena Allah
Bertemu, berpisah, karena cintaNya...


“Segala puji untukMu, Cintaku. Aku melihatnya, Sang Pelangi selepas gerimis”.
7 Oktober 2010


Read More......
 
Copyright 2009 Sepenggal Episode Kehidupan. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator