Thursday, February 24, 2011

Maafkan Diri, lalu...




(Ditemani dentingan manis Yiruma “Kiss The Rain”, teringat suatu hal di lampau yang belum aku selesaikan. Satu cara untuk menyelesaikan adalah dengan menuliskannya dengan caraku sendiri. Setelahnya aku bisa lega dan tidak melihat lagi ke belakang. Dan tentu saja, aku bisa memaafkannya.)

Sekitar 3 tahun yang lalu, sebuah tawaran menghampiri. Suatu organisasi kampus meminta kesediaanku untuk berkontribusi dengan jabatan penting. Awalnya berat bagiku untuk mengiyakan, karena aku kurang menyukai atmosfer yang terlebih dulu tidak menyenangkan pada pertemuan pertama antar pejabat teras. Namun, saat itu pemikiran idealisku menyuruhku untuk mencoba keluar dari “cangkangku” yang nyaman. Semata agar aku tidak menjadi pengaplikasi dari pepatah “Seperti katak dalam tempurung”. Di sana lah aku bertemu dengannya, seseorang dengan segala kenangan yang ikut bersamanya telah mengendap di alam bawah sadarku selama 3 tahun. Pertemuan yang bertahun-tahun kemudian telah memberiku banyak kedewasaan.

Dia menyukaiku. Sebenarnya aku tidak peka tentang itu. Tapi, seorang sahabat memberitahuku. Tujuannya agar aku lebih sadar dengan siapa aku akan bekerja sama. Kalau dipikir kembali, semuanya akan menjadi berbeda bila aku tidak tahu. Karena saat itu aku berubah memandangnya dalam konteks yang lain. Ah, aku tak tahu bagaimana mendekripsikannya. Sadar atau tidak, semua cerita dimulai dari saat itu. Tahun-tahun dimana aku bekerja sama dengannya membuatku lebih tahu banyak tentangnya. Kebaikannya, keberaniannya, keunikannya, kritis, dan pembawaannya yang cenderung kasar dan ketus. Tak perlu waktu lama untuk tahu, yang terakhir itu adalah topeng untuk menutupi perasaannya yang rapuh. Interaksi yang kian intens membawaku ke dalam dunia yang sudah lama tidak kusentuh: jatuh cinta. Begitulah skenario dari-Nya yang harus aku jalani. Dari sini, jalan yang aku tapaki lebih terjal. Lebih banyak yang harus dikorbankan untuk sampai ke puncak. Pada akhirnya aku kalah. Aku jatuh ke jurang yang dalam dan berduri. Ya, hal ini membuatku rapuh dan lemah. Aku jadi lebih banyak merenung. Aku tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini. Saat itu, aku memutuskan untuk mengetik sebuah surat untuk dia. Isinya bercerita mengenai aku dan dia. Sebuah kebenaran yang tidak bisa lagi aku kurung. Aku tidak sanggup menanggungnya. Dia membalasnya dengan isi surat yang jujur, rapuh, tapi ingin tegar. Dia menghormatiku dengan caranya. Dia tahu aku tidak memilih jalan yang lazim dipilih banyak orang untuk mengekpresikan rasa yang tengah melandaku. Akhirnya,
aku akan datang 5 tahun lagi dengan kepribadian yang lebih baik. Itulah janjinya. Saat itu aku menanggapi dalam hati dengan ragu. Benarkah? Apakah ini baik?

Dalam keraguan yang menyerangku dari semua sisi, aku menyendiri di malam yang sunyi. Berduaan dengan-Nya. Bercerita-layaknya curhat, menangis sesenggukan, mengais ampunan, dan memohon petunjuk dimana jalan keluar dari semua yang membingungkanku. Dan tak lama, Allah menjawabnya. Suatu hari aku disuguhi berita di situs jejaring sosial mengenai dia. Berpacaran dengan ***. Aku hanya membeku. Dan tidak menyentuh apa-apa selama sehari penuh: tidak makan, tidak minum, hanya diam di sudut kamar ditemani bening-bening yang terus mengalir. Aku membiarkan perasaan “konyol dan kawan-kawannya” itu merongrongku sampai puas. Akhirnya perasaan itu menyerah dan pergi. Aku merasa lelah dan tertidur dengan bekas bening di sudut mataku.

Perlahan, dengan luka-luka yang ditorehkan cukup dalam di dinding hatiku, aku bangkit. Menata kembali hidupku. Menambah interaksi dengan-Nya saat kesunyian malam tiba. Aku akui, tidak hanya keburukan yang datang selama aku melalui semua ini. Percaya atau tidak, hal itu membuatku menjadi lebih sering bertemu dengan-Nya. Meluahkan perasaanku, membeningkan hati untuk lebih jujur mengakui kesalahan-kesalahanku, dan mempercayai kelembutan kasih-Nya untuk menyembuhkan luka di hatiku. Setahun kemudian, aku masih dan terus belajar bagaimana menjadi ridha dan ikhlas atas apa yang telah berlaku. Aku belum cukup kuat untuk menyambung kembali silaturahmi yang terputus. Dia juga tidak pernah berucap meski satu kata mengenai hal itu. Aku tahu dalam keseharianku bertemu dengannya, dia ingin menyapaku dan mengungkapkan banyak hal. Tapi mungkin dia tidak mampu. Aku masih berusaha untuk memaafkannya. Dan hari ini aku tidak mau menunda lagi.



Aku ingin melangkah lebih jauh dan terbang lebih tinggi. Aku percaya bahwa di belahan dunia lain, setengah bagian diriku juga sedang mencariku. Aku memutuskan untuk mengunci ruang yang khusus aku sediakan untuk pasangan jiwaku. Nanti, tiba masanya, aku akan menyerahkan kuncinya-dengan dibimbing olehNya- pada orang yang tepat.

Aku tahu rezki ku tidak akan diambil oleh orang lain, karena itulah aku tenang.
Aku tahu amalku tidak akan diambil oleh orang lain, karena itulah aku sibuk beramal .
Aku tahu Allah selalu mengawasiku, karena itulah aku malu bila Dia melihatku dalam kemaksiatan.
Aku tahu kematian sudah menunggu, karena itulah aku selalu sibuk menambah bekal untuk hari pertemuanku dengan Allah.


Hari ini aku sadar, selama ini aku belum memaafkan diriku atas semua yang aku lakukan di lampau sana. Aku belum bisa menerima atas ketergesaanku dalam mengambil keputusan sehingga mengacaukan arah jalan yang tengah aku tempuh. Aku sudah menyadari, aku tidak akan pernah bisa memaafkannya sebelum aku melakukan hal itu. Dan sekarang aku sudah memaafkannya.

Aku memaafkanmu untuk semuanya. Aku harap silaturahim ini kembali terajut dengan lebih baik. Ingatkah ini di dalam suratku 2 tahun yang lalu:
“Nanti saat dimana mungkin dirimu telah menimang cucu dan di tempat lain aku juga demikian, mungkin masing-masing kita akan tersenyum mengingat kisah ini.”
Entah kapan, saat kita bertemu nanti, aku tidak mau kau mengungkitnya lagi. Karena aku sudah memaafkan semuanya. Semua yang bisa aku ingat. Dan maafkan aku untuk semua salahku. Mungkin ada kata-kataku dalam tulisan ini yang menyinggungmu, maafkan aku juga untuk itu. Semoga Allah meridhainya...


Darussalam, 25 Februari 2011
[Di tengah dentingan Yiruma yg belum berhenti]

7 comments:

Unknown said...

curhatan yang bagus,, ^^

hadinux said...

owh owh so sweet hehehe :P
Semoga semakin dewasa dalam mensikapi persoalan-persoalan hidupnya.Ada rahasia dibalik rahasia :D

Humaira Meirina said...

k wisren : ^^ semoga

Humaira Meirina said...

b hadi : Amiin... Thanks :D

Ahmad Habibi,..... :p said...

Sapa la...kok g bilang2 ma abang???/

Humaira Meirina said...

abang : abaaaaaang... >.< mana bisa kami cerita yg ginian sama abg. Ada2 aja lah. Tapi G-Daught of MYA tau smua kok alias para sepupu cewek :D

Anonymous said...

wow,,,kembali dalam pusaran waktu....

Post a Comment

 
Copyright 2009 Sepenggal Episode Kehidupan. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator